Liputan6.com, Jakarta - Sobat Ambyar benar-benar ambyar pada Selasa (5/5/2020). Sang Maestro Didi Kempot meninggal dunia pada usia 53 tahun. Penyanyi kondang ini tutup usia di RS Kasih Ibu pukul 07.25 WIB dalam kondisi henti jantung.
Menurut Asisten Manajer Humas RS Kasih Ibu, Solo, dr. Divan Fernandes, pihak RS sudah melakukan berbagai upaya pertolongan. "Pukul 07.25 WIB ke IGD dalam keadaan henti jantung. Sudah dilakukan pertolongan dengan maksimal. Tapi, kondisi tidak tertolong. Almarhum dinyatakan meninggal dunia pukul 07.45 WIB," kata dr. Divan, dikutip Solopos, Selasa (5/5/2020).
Didi kempot merupakan salah satu contoh musisi yang memiliki kisah hidup yang patut untuk dijadikan panutan. Dikutip dari berbagai sumber, Didi Kempot memulai kariernya pada tahun 1984 sebagai musisi jalanan. Bermodalkan ukulele dan kendhang, penyanyi kondang Didi Kempot mulai mengamen di kota kelahirannya Surakarta, Jawa Tengah, selama tiga tahun.
Advertisement
Pada tahun 1987 Didi Kempot memulai karirnya di Jakarta. Ia kerap berkumpul dan mengamen bersama teman-temannya di daerah Slipi, Palmerah, Cakung, maupun Senen. Mulai dari situ julukan Kempot yang merupakan kependekan dari Kelompok Pengamen Trotoar terbentuk, yang menjadi nama panggungnya hingga saat ini.
Sembari mengamen di Jakarta, Didi Kempot dan temannya mencoba rekaman. Kemudian, mereka menitipkan kaset rekaman ke beberapa studio musik di Jakarta. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya mereka berhasil menarik perhatian label Musica Studio's. Tepat di tahun 1989, Didi Kempot mulai meluncurkan album pertamanya. Salah satu lagu andalan di album tersebut adalah Cidro.
Lagu Cidro diangkat dari kisah asmara Didi Kempot yang pernah gagal. Jalinan asmara yang ia jalani bersama kekasih tidak disetujui oleh orang tua wanita tersebut. Itulah yang membuat lagu Cidro begitu menyentuh hingga membuat pendengar terbawa perasaan. Sejak saat itulah Didi Kempot mulai sering menulis lagi bertema patah hati.
Awal Kesuksesan
Awal kesuksesan Didi Kempot dimulai pada 1993, saat penyanyi asal Solo tersebut mulai tampil di luar negeri, tepatnya di Suriname, Amerika Selatan. Lagu Cidro yang dibawakan sukses meningkatkan pamornya sebagai musisi terkenal di Suriname.
Setelah Suriname, Didi Kempot lanjut menginjakkan kakinya di benua Eropa. Pada 1996, ia mulai menggarap dan merekam lagu berjudul Layang Kangen di Rotterdam, Belanda. Kemudian, Didi Kempot pulang ke Indonesia pada 1998 untuk memulai kembali profesinya sebagai musisi. Tak lama setelah pulang kampung, pada era reformasi, 1999, dia mengeluarkan lagu Stasiun Balapan.
Kembalinya Didi Kempot ke Indonesia ternyata membuat kariernya semakin populer. Hal itu dibuktikan dengan keluarnya lagu-lagu baru di awal 2000-an.
Nama Didi Kempot kembali meroket setelah mengeluarkan lagu Kalung Emas pada 2013 lalu. Kemudian pada 2016, penyanyi asal Solo tersebut mengeluarkan lagu Suket Teki. Lagu tersebut juga mendapatkan apresiasi yang tinggi dari warga Indonesia.
Bukti kesuksesan Didi Kempot bisa dilihat dari tarif manggungnya selama hidup. Hal ini terungkap ketika dirinya manggung dalam ajang Wonogiri Night Carnival (WNC) #4 di Alun-alun Giri Krida Bakti, Wonogiri, pada Senin 9 Desember 2019.
Kabag Humas Setda Wonogiri, Haryanto, saat dihubungi Solopos.com mengatakan Untuk mendatangkan Didi Kempot, biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 95 juta untuk pentas berdurasi satu jam.
Harga itu belum termasuk fasilitas hotel, transit, sound system, dan panggung. Jika ditotal biaya keseluruhan hampir menyentuh Rp 200 juta.
“Itu untuk satu jam kalau jumlah lagunya belum tentu. Pas di acara SMAN 1 Wonogiri itu malah bisa sampai 1,5 jam konsernya,” ujar dia.
Advertisement