Sukses

Industri Hasil Tembakau Minta Perlindungan Pemerintah di Tengah Pandemi

Jika banyak pabrik rokok golongan kecil dan menengah gulung tikar, maka serapan terhadap komoditas tembakau semakin berkurang.

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan pabrik rokok di Indonesia telah menyusut dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2011 terdapat 1.540 pabrik rokok kecil, menengah, hingga besar di Indonesia. Namun pada 2017 jumlah ini menurun drastis menjadi 487 pabrik saja.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji menegaskan bahwa perlindungan komoditas tembakau nasional harus terus diperhatikan. Jika semakin banyak pabrik rokok golongan kecil dan menengah gulung tikar, maka serapan terhadap komoditas tembakau juga semakin berkurang.

"Bagaimana dengan nasib komoditas tembakau dalam negeri serta kelangsungan petani-petani tembakau? Maka, dibutuhkan aturan yang jelas dan tidak berubah-ubah agar tidak mengancam usaha skala kecil-menengah dan tentunya para petani tembakau," ucap Agus dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (13/5/2020).

Agus mengakui beban pelaku IHT di Indonesia saat ini kian bertambah. Setelah menghadapi kenaikan drastis HJE dan cukai hasil tembakau (CH) di awal 2020. Di kuartal II-2020, ekonomi Indonesia diuji oleh penyebaran wabah covid-19 yang memukul banyak industri di tanah air termasuk IHT.

Produktivitas pabrikan di beberapa kota sentra tembakau menurun, daya beli masyarakat di tengah situasi ini juga berkurang karena banyak pabrikan kecil dan menengah terdampak covid-19. Apalagi dampak ini diprediksi baru dapat pulih bertahap pada tahun 2021.

"Karenanya, demi kelangsungan jangka panjang industri yang heterogen ini, pelaku IHT sangat berharap agar pemerintah dapat menjaga aturan yang saat ini telah berlaku imbang bagi seluruh pihak, tanpa menerapkan perubahan yang membuat kondisi semakin tidak menentu," kata Agus.

Keragaman pabrik hasil tembakau di Indonesia dirangkum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai tarif cukai hasil tembakau.

Dalam beleid ini disebutkan pabrikan tembakau di Indonesia berdasarkan jenis rokok, yaitu Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan SKT), kelas pabrikan berdasarkan jumlah produksi setiap tahunnya, serta Harga Jual Eceran (HJE) dari produk rokok yang dihasilkan.

2 dari 2 halaman

Ragam Industri

Dari aturan tersebut Indonesia memiliki beragam jenis pabrikan yang berbeda-beda tergantung kapasitas produksi mereka. Atas dasar itu pula pemerintah menetapkan tarif cukai yang berbeda.

Oleh karena itu, Agus menekankan pentingnya untuk memastikan pembagian kategori itu tetap sebagaimana mestinya agar mampu menjaga eksistensi komoditas tembakau nasional. Terlebih hal ini menyangkut sumber mata pencaharian sekitar tiga juta petani dan menghidupkan sekitar 245.371 ribu hektare lahan.

"Demi melindungi para petani tembakau yang sangat bergantung pada kelangsungan bisnis industri rokok di Indonesia, pemerintah perlu menyusun kebijakan yang stabil terhadap IHT di masa depan tanpa perlu terus mengubah yang sudah ada," urai dia.

Pabrikan rokok kecil dan menengah merupakan penyerap tembakau kualitas standar terbesar. Dalam praktiknya, perbedaan grade tembakau juga mempengaruhi penyerapan oleh masing-masing pabrikan.

Kualitas tinggi biasanya akan dipasok ke perusahaan-perusahaan rokok besar, sedangkan kualitas standar akan diambil oleh pabrik rumahan. Hal ini membuat komoditas tembakau di Indonesia memiliki pasarnya sendiri dan menumbuhkan banyak skala pabrikan di berbagai provinsi.

"Selain itu, pabrikan rokok kecil dan menengah juga merupakan penyuplai rokok dengan harga ekonomis kepada konsumen kelas menengah ke bawah. Heterogenitas ini penting untuk saling melengkapi kebutuhan masyarakat dari kelas ekonomi yang beragam sekaligus menjadi mata pencaharian utama untuk menyambung kehidupan," ucapnya.

Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Djoko Wahyudi meminta pemerintah lebih peka dalam membuat kebijakan yang bisa berdampak pada kelangsungan industri tembakau. Apalagi industri hasil tembakau (IHT) kini tengah mengalami kondisi ekonomi tidak kondusif imbas perlambatan ekonomi besar-besaran karena dampak pandemi covid-19.

"Kita punya banyak sekali mitra usaha kecil dan menengah yang sangat bergantung pada kestabilan peraturan. Adanya wacana-wacana perubahan kebijakan agar tidak dilanjutkan, karena akan menyulitkan perusahaan untuk membangun strategi khususnya di masa penurunan ekonomi yang terjadi sebagai dampak wabah covid-19 ini," ujar Djoko. (mdk/idr)

Â