Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menerbitkan Perpres 64/2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang mengatur antara lain perubahan iuran peserta BPJS untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja (PBPU dan BP), Pemerintah melakukan langkah lanjutan untuk memperbaiki dan menjaga kesinambungan ekosistem program Jaminan Kesehatan (JKN).
Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, mengatakan melalui perpres tersebut, pemerintah hadir lebih banyak dalam menjamin keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Sebetulnya, kehadiran perpres ini justru mengembalikan nilai-nilai fundamenetal dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," ujarnya dalam media briefing Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kamis (14/5/2020).
Advertisement
Dengan perpres ini lanjutnya, pemerintah justru hadir lebih banyak. Dimana konstruksi dasar dari program JKN adalah membangun sosial solidaritas atau gotong royong, yang tidak mampu dibiayai pemerintah.
Dalam paparannnya, per 30 April 2020, negara telah membayar untuk 132.600.906 jiwa, yang terdiri dari penerima bantuan iuran (miskin tidak mampu) sebanyak 96.536.203 jiwa, dan 36.064.703 jiwa merupakan penduduk yang didaftarkan oleh Pemda.
"Kita melihat angkanya dahsyat, bagaimana Pak Jokowi berkomitmen untuk mmbiayai masyarakat miskin baik, yang pemerintah pusat maupun yang pemerintah daerah," kata Fachmi.
Sementara untuk pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan bukan pekerja, untuk kelas III - yang menurut Perpres 75/2019 jumlah iurannya adalah Rp 42.000, dalam Perpres 64/2020 jumlahnya sama. Namun perserta hanya membayar Rp 25.500 dan selisih sebesar Rp 16.500 (dari tarif Rp 42.000) dibayar pemerintah pusat sebagai bantuan iuran, tercatat sebanya 21.814.335 jiw.
Utang Klaim BPJS Kesehatan ke Rumah Sakit Tembus Rp 4,4 Triliun
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tercatat memiliki utang klaim yang jatuh tempo ke Rumah Sakit sekitar Rp 4,4 triliun. Utang ini tercatat merupakan data sampai dengan 13 Mei 2020.
Hal tersebut diungkapkan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara, Kemenkeu, Kunta Dasa dalam media briefing Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kamis (14/5/2020).
"Kondisi BPJS ini perlu ada perbaikan dan perlu ada upaya-upaya untuk mengurangi defisit BPJS," jelas dia.
Lebih lanjut, Kunta memaparkan rincian klaim BPJS, diantaranya untuk outstanding klaim mencapai Rp 6,212 miliar, merupakan klaim yang masih dalam proses verifikasi.
Klaim yang belum jatuh tempo sebesar Rp 1,031 miliar, sudah jatuh tempo Rp 4,443 miliar, dan klaim yang sudah dibayar sejak 2018 senilai total Rp 192,539 miliar.
"Dampak putusan MA dengan dibatalkannya pasal 24, kondisi keuangan DJS kesehatan tahun 2020 diperkirakan akan mengalami defisit sebesar Rp 6,9 triliun, termasuk menampung carry over defisit tahun 2019 sekitar Rp 15,5 triliun," papar dia.
Mulai 2021, lanjut Kunta, BPJS Kesehatan akan mengalami defisit yang semakin melebar, sehingga perlu langkah signifikan untuk menjaga kesinambungan program.
Advertisement
Iuran Naik, BPJS Kesehatan Masih Butuh Subsidi Pemerintah
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih membutuhkan subsidi dari pemerintah untuk keberlanjutan operasionalnya, meskipun pada Juli 2020 mulai menyesuaikan iuran pesertanya.
“Terhadap keseluruhan operasionalisasi BPJS, dirasakan diperlukan subsidi pemerintah,” kata Airlangga, dikutip dari Antara, Rabu (13/5/2020).
Dia mengatakan iuran BPJS Kesehatan, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, memang terjadi penyesuaian.
Dalam Perpres tersebut disebutkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) dengan manfaat perawatan kelas I dan II akan naik pada 1 Juli 2020. Sedangkan untuk peserta dengan manfaat perawatan kelas III akan naik pada Januari 2021.
Subsidi dari pemerintah itu diberikan kepada peserta dengan manfaat perawatan kelas III.
Adapun secara keseluruhan, kenaikan iuran ini ditujukan untuk memastikan keberlanjutan dari operasional BPJS Kesehatan.
“Tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan. Untuk itu, ada iuran yg disubsidi pemerintah, nah ini tetap yang diberikan subsidi. Nah yg lain tentu diharapkan jadi iuran yang bisa menjalankan keberlanjutan daripada operasi BPJS Kesehatan,” ujar dia.