Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan kembali menaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, terhitung mulai 1 Juli 2020. Kabar itu tentu saja mengejutkan sebagian masyarakat di tengah pandemi Covid-19.Â
Upaya pemerintah untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan sebenarnya bukan pertama kali dilakukan. Pada awal tahun ini, pemerintah telah menaikan iuran BPJS Kesehatan yang resmi berlaku per 1 Januari 2020. Ketentuan tersebut diatur dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kala itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan, Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, masyarakat harus membayar penuh iuran yang naik sejak 1 Januari 2020.
Advertisement
"Kami memandang perlu kebijakan BPJS dibahas tuntas agar mendapatkan titik temu. Jadi sesuai kesepakatan di rapat, Perpres 75/2019 tetap berlaku," ungkapnya pada 6 Januari 2020.
Namun pada Maret 2020, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS kesehatan yang diajukan Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir, pada 2 Januari 2020. "Kabul permohonan hukum sebagian," tulis MA dalam putusannya.
Baca Juga
Tarik ulur kenaikan iuran BPJS Kesehatan nyatanya tak berhenti sampai di situ. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II. Kenaikan iuran tersebut mulai berlaku pada 1 Juli 2020.
Merujuk pada Pasal 34 Perpres tersebut, kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada tahun ini hanya berlaku untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) serta Bukan Pekerja (BP) kelas I dan II.
"Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I yaitu sebesar Rp 150.000,00 per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama peserta," demikian bunyi Pasal 34 ayat 3 Perpres Nomor 64/2020.
"Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II yaitu sebesar Rp 100.000,00 per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama peserta," demikian bunyi Pasal 34 Perpres Nomor 64/2020," demikian tertulis dalam Pasal 34 ayat 2.
Sementara untuk peserta BPJS kesehatan PBPU dan BP kelas III besaran iurannya baru akan naik pada 2021 mendatang.
"Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp 25.500,00, tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp 35.000,00."
Pemerintah memiliki alasan sendiri untuk kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan meski saat ini masyarakat tengah terbebani akibat dampak pandemi virus corona.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto angkat bicara. Dia menegaskan, alasan pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Kenaikan iuran ini demi menjaga keberlanjutan operasional BPJS Kesehatan.
"Sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan, dan tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan," jelas Airlangga dalam video conference usai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi.
Meski iuran naik, Airlangga memastikan bahwa pemerintah tetap memberikan subsidi. Subsidi dan iuran tetap diperlukan agar operasional BPJS Kesehatan dapat terus berjalan.
"Nah ini yang tetap diberikan subsidi. Sedangkan yang lain tentu menjadi iuran yang diharapkan bisa menjalankan keberlanjutan daripada operasi BPJS Kesehatan," tutur dia.
Lihat video berikut ini:
Kondisi BPJS Kesehatan
Masalah keuangan di tubuh BPJS Kesehatan bukan hal baru. Data terbaru per 13 Mei 2020, BPJS Kesehatan tercatat memiliki utang klaim yang jatuh tempo ke rumah sakit sekitar Rp 4,4 triliun.
Hal tersebut diungkapkan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara, Kemenkeu, Kunta Dasa dalam media briefing Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kamis (14/5/2020). "Kondisi BPJS ini perlu ada perbaikan dan perlu ada upaya-upaya untuk mengurangi defisit BPJS," jelas dia.
Lebih lanjut, Kunta memaparkan rincian klaim BPJS, diantaranya untuk outstanding klaim mencapai Rp 6,212 miliar, merupakan klaim yang masih dalam proses verifikasi.
Klaim yang belum jatuh tempo sebesar Rp 1,031 miliar, sudah jatuh tempo Rp 4,443 miliar, dan klaim yang sudah dibayar sejak 2018 senilai total Rp 192,539 miliar.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga memiliki masalah yang pelik terkait defisit yang dialami. Akibat batalnya kenaikan iuran, defisit tersebut semakin membengkak.
"Dampak putusan MA dengan dibatalkannya pasal 24, kondisi keuangan DJS kesehatan tahun 2020 diperkirakan akan mengalami defisit sebesar Rp 6,9 triliun, termasuk menampung carry over defisit tahun 2019 sekitar Rp 15,5 triliun," papar dia.
Bahkan mulai 2021, BPJS Kesehatan akan mengalami defisit yang semakin melebar, sehingga perlu langkah signifikan untuk menjaga kesinambungan program.Â
Di sisi lain, negara juga masih harus menanggung ratusan juta peserta BPJS Kesehatan. Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris mengatakan, per 30 April 2020, negara telah membayar untuk 132.600.906 jiwa.
Jumlah ini terdiri dari penerima bantuan iuran (miskin tidak mampu) sebanyak 96.536.203 jiwa, dan 36.064.703 jiwa merupakan penduduk yang didaftarkan oleh Pemda.
"Kita melihat angkanya dahsyat, bagaimana Pak Jokowi berkomitmen untuk membiayai masyarakat miskin baik, yang pemerintah pusat maupun yang pemerintah daerah," jelas dia.
Ia menilai, melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020, pemerintah hadir lebih banyak dalam menjamin keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Sebetulnya, kehadiran Perpres ini justru mengembalikan nilai-nilai fundamenetal dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," ujarnya.
Â
Advertisement
Tuai Penolakan
Kenaikan BPJS Kesehatan ini pun langsung menuai respons buruh dan pengusaha. Jika biasanya buruh dan pengusah saling silang pendapat seperti dalam kenaikan upah minimum, kali ini ini berbeda.
Baik buruh maupun pengusaha kompak merasa keberatan dengan adanya kenaikan iuran tersebut. Tak hanya keberatan, buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bahkan secara tegas menolak terbitnya Perpres terkait kenaikan Iuran BPJS Kesehatan.
Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan, setidaknya ada tiga alasan yang mendasari penolakan KSPI terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Pertama, melanggar ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
"Dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka ada potensi hak rakyat untuk memperoleh layanan kesehatan akan terganggu. Karena kenaikan itu memberatkan masyarakat, sehingga mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengiur," kata Said dalam keterangan tertulisnya.Â
Kedua, KSPI menilai kenaikan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU 40/2004 tentang SJSN dan UU 24/2011 tentang BPJS.
Di mana disebutkan, bahwa BPJS Kesehatan bukanlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tetapi berbentuk badan hukum publik, sehingga pemerintah tidak boleh seenaknya menaikkan iuran secara sepihak tanpa meminta persetujuan dari pemilik BPJS Kesehatan.
Kemudian alasan yang ketiga, ia menyebut bahwa Mahkamah Agung sudah membatalkan Pepres No 82 Tahun 2018 yang sebelumnya menaikkan iuran.
KSPI menilai, seharusnya untuk sesuatu yang sudah diputuskan oleh hukum, harus dijalankan. Tidak boleh diakal-akali untuk memaksakan kehendak.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyatakan, seluruh pihak akan kesulitan dalam membayar iuran BPJS Kesehatan. Lebih parah, bahkan mungkin ada beberapa pihak yang tidak dapat membayar.
"Dalam kondisi seperti ini masyarakat dan perusahaan kondisinya sedang keberatan, untuk masyarakat umum yang bukan penerima upah juga akan mengalami kendala membayar iuran, kemungkinan mereka tidak bisa membayar iuran," ujar Hariyadi dalam diskusi daring.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Mardani H Maming.
Bahkan dia meminta kepada pemerintah untuk menunda kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah masa pandemi virus Corona (Covid-19).
Mardani beralasan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan semakin memberatkan para pengusaha yang kini tengah berjuang melawan dampak virus Corona.
"Setiap ada keputusan kenaikan dari pemerintah, yang harus membayar pasti pengusaha dan akan memberatkan," ujar dia kepada Liputan6.com.
Menurut dia, hampir sekitar 80 persen pelaku usaha kini terdampak akibat penyebaran wabah tersebut. Hanya sebagian, seperti pengusaha alat kesehatan yang masih dapat mempertahankan kegiatan usahanya.
Oleh karenanya, Mardani berpendapat, pemerintah seharusnya tidak terburu-buru menaikan iuran BPJS Kesehatan. Sebab itu dapat berdampak panjang, seperti membuat perusahaan gulung tikar hingga menambah angka pengangguran.
Meski demikian, BPJS Kesehatan menyatakan jika kenaikan iuran ini telah sesuai dengan aspirasi masyarakat.
"Perpres yang baru ini juga telah memenuhi aspirasi masyarakat seperti yang disampaikan wakil-wakil rakyat di DPR RI, khususnya dari para Anggota Komisi IX, untuk memberikan bantuan iuran bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)/mandiri dan Bukan Pekerja kelas III," ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf  kepada Merdeka.com.
Iqbal mengatakan, dalam masa pandemi Virus Corona saat ini pihaknya berpikir positif pembayaran iuran akan tetap berjalan dengan baik. Sebab, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut merupakan salah satu upaya untuk menjaga agar pembiayaan JKN-KIS bisa berjalan dengan baik.
"(Pembayaran akan lancar di tengah pandemi Virus Corona?) Kita berpikir positif saja. Bahwa ini bagian dari solusi untuk mengatur supaya pembiayaan JKN-KIS bisa berjalan dengan lebih baik. Kepesertaan JKN kan tak cuma mandiri," paparnya.
Lakukan Pembenahan
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai, keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan tidak tepat. Ini lantaran keputusan itu diputuskan dalam masa kritis wabah pandemi virus corona atau covid-19.
"Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan seenaknya menaikan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat. Padahal di pasal 38 di Perpres ini menyatakan kenaikan iuran harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat," katanya kepada Liputan6.com.
Timboel menilai Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sangat memberatkan masyarakat.
Lanjutnya, di tengah pandemi ini pekerja informal yang sangat sulit ekonominya malah dinaikkan iurannya per 1 juli 2020 nanti untuk kelas 1 dan 2, yang nilainya dekat-dekat dengan iuran yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung (MA).
"Per 1 Juli 2020 ini klas 1 naik lagi jadi Rp 150 ribu per orang per bulan. Kelas 2 jadi Rp 100 ribu. Kelas 3 di subsidi Rp 16.500 dan di 1 Januari 2021 naik jadi Rp 35.000 sehingga pemerintah hanya subsidi  Rp7.000," jelasnya.
Menurutnya, putusan Hakim MA yang menurunkan iuran Jaminan Kesehatan (JKN) peserta mandiri memaparkan dua pertimbangan hukum yakni daya beli masyarakat masih rendah, dan pelayanan BPJS kesehatan belum membaik.
"Dengan dua pertimbangan hukum ini maka Hakim MA membatalkan iuran peserta mandiri yang klas 1 awalnya Rp 160.000 diturunkan jadi Rp 80.000, kelas 2 yang awalnya Rp 110.000 diturunkan jadi Rp 51.000 dan kelas 3 dari Rp 42.000 menjadi Rp 25.500," ungkap dia.
Maka dari itu, dengan pertimbangan hukum ini, ia menilai seharusnya Pemerintah berusaha bagaimana agar daya beli masyarakat ditingkatkan dan pelayanan BPJS Kesehatan juga ditingkatkan, baru lakukan kenaikan iuran JKN.
"Dalam kondisi pandemi seperti ini kan sudah sangat jelas dan kasat mata kalau daya beli masyarakat termasuk peserta mandiri yang didominasi pekerja informal sangat jatuh. Pekerja informal sulit bekerja seperti biasa karena Covid-19 ini," ujarnya.Â
Sementara dari sisi konsumen, Sekretaris YLKI Agus Suyatno mengatakan, pemerintah dan manajemen BPJS Kesehatan idealnya melakukan tiga langkah strategis sebelum kembali meninggikan iuran pascaputusan Mahkamah Agung yang sempat membatalkan kenaikan.
Pertama, yakni melakukan cleansing data golongan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Menurut Agus, banyak peserta PBI yang salah sasaran, di mana banyak orang mampu menjadi anggotanya.
"Di lapangan, banyak anggota PBI yang diikutkan karena dekat dengan pengurus tingkat desa setempat. Jika cleansing data dilakukan secara efektif, maka peserta golongan mandiri kelas III langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI," imbuhnya kepada Liputan6.com.
"Dari sisi status sosial ekonomi, golongan mandiri kelas III sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran," dia menambahkan.
Berikutnya, pemerintah disebutnya perlu mendorong agar semua perusahaan menjadi anggota BPJS Kesehatan, atau melakukan audit perusahaan yang memanipulasi jumlah karyawannya dalam kepesertaan.
"Sampai detik ini masih lebih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai anggota BPJS Kesehatan daripada yang sudah menjadi anggota," kata dia.
Agus juga berpendapat, pemerintah juga seharusnya melakukan penelusuran terhadap tunggakan iuran. "Selama ini masih banyak tunggakan yang belum dibayar," ungkapnya.
"Jika ketiga poin itu dilakukan maka secara ekstrem, maka kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak perlu dilakukan. Atau setidaknya tidak perlu naik sampai mendekati 100 persen," tukas Agus.
Advertisement
Optimis Bakal Tekan Defisit
Meski mendapatkan keberatan dari berbagai pihak, namun BPJS Kesehatan yakin kenaikan iuran bakal tekan angka defisit.
Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, ketika Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 diberlakukan, BPJS hampir tidak akan mengalami defisit.
Sebagaimana diketahui, Perpres 64/2020 menyebutkan kenaikan bertahap iuran peserta BPJS Kesehatan. Kondisi BPJS Kesehatan dinilai akan kembali membaik dan seimbang jika iuran dinaikkan.
"Proyeksinya, kalau Perpres 64 jalan, kami hampir tidak defisit. Cash in dan cash out-nya akan seimbang," terang Fachmi dalam paparannya.
Lanjut Fahmi, kehadiran Perpres nomor 64/2020 tersebut juga dinilai mengembalikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kepada nilai fundamentalnya.Â
Serta UU DJSN BPJS pada hakekatnya, yaitu menjadi program gotong royong demi kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Fachmi bilang, bila pemerintah tidak menerbitkan Perpres 64/2020 maka keberlanjutan program JKN-KIS juga akan turut terancam.
"Kalau tidak diperbaiki struktur iuran sebagaimana keputusan seperti sekarang, itu akan terjadi potensi defisit. Dan tentu kita tidak ingin program ini tidak berkelanjutan,"Â ujar dia.
Meski demikian, belum jelas bagaimana proyeksi keuangan perusahaan dalam beberapa waktu ke depan karena masih banyak variabel yang harus dikalkulasi.
"Karena masih banyak variabel, jadi belum bisa diproyeksikan tapi asumsi kami ini akan sustain," katanya.