Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, tak memungkiri bahwa akan banyak pelaku usaha konvensional yang beralih ke dunia digital pada situasi new normal dalam masa penyebaran wabah virus corona saat ini.
Namun, ia menambahkan, masih ada beberapa pelaku usaha yang tetap bertahan secara offline mengikuti kebutuhan. Oleh karenanya, patuh pada protokol kesehatan dinilai menjadi kunci bagi pengusaha untuk bisa memenangkan persaingan saat situasi new normal.
Baca Juga
"Hanya mereka yang melakukan inovasi meningkatkan prosedur kesehatan yang akan memenangkan persaingan," ungkap Piter kepada Liputan6.com, Senin (18/5/2020).
Advertisement
Dengan begitu, ia menilai dunia usaha harus menyesuaikan semua kegiatan operasinya dengan kebutuhan new normal.
"Contoh sederhana, para pedagang makanan seperti warteg nantinya harus benar-benar memperhatikan kebersihan dan tertib melakukan SOP kesehatan. Termasuk menggunakan masker dan sebagainya," imbuhnya
"Kalau mereka tidak melakukan itu, mereka akan kehilangan pelanggan," Piter mengingatkan.
Dianggar Terlalu Dini
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira menilai pemerintah masih terlalu dini dalam menerapkan skema new normal di tengah masa penyebaran wabah virus corona (Covid-19).
Menurut dia, pemerintah seharusnya lebih fokus untuk menekan angka kematian dan pasien terdampak akibat corona. Jika itu berhasil dilakukan, negara disebutnya baru bisa memulai tahap new normal.
"Idealnya pemerintah belajar dari Vietnam. Ketika kurva sudah flat dan angka kematian 0 baru lockdown dilonggarkan. Disitu pelaku usaha dan konsumen akan recovery lebih cepat," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (18/5/2020).
"Jadi jangan tanggung dengan indikator kesehatan yang tidak jelas," Bhima menekankan.
Bhima menyatakan, potensi biaya kesehatan yang naik akibat pelonggaran yang belum pada saatnya juga perlu dicermati. Terlebih saat ini biaya iuran BPJS Kesehatan juga telah meningkat.
"Biaya ini kan ditransfer ke masyarakat juga dalam bentuk kenaikan iuran BPJS kesehatan. Jadi ada biaya kesehatan yang perlu dipikirkan pemerintah ketika melonggarkan PSBB," imbuh dia.
Â
Advertisement
Masyarakat Ragu
Di sisi lain, sebagian masyarakat saat ini juga dianggapnya menjadi ragu untuk kembali beraktivitas lantaran khawatir akan keselamatan diri.
"Khususnya ini terjadi pada kelas menengah dan atas yang kontribusi pengeluarnya mencapai 83 persen dari total pengeluaran nasional. Mereka mau belanja takut ada virus," kata Bhima.
Kekhawatiran tersebut dinilai wajar lantaran berpotensi semakin melumpuhkan perekonomian nasional. "Gelombang kedua bisa lebih bahaya. Akan lebih mahal biaya ekonomi dan kesehatan," tegasnya.