Liputan6.com, Jakarta - PT Sinarmas Asset Management, memberitahukan telah terjadi volatilitas harga obligasi dan likuiditas di pasar menjadi ketat serta terbatas, sehingga sulit mencapai harga jual yang wajar.
"Hal ini menyebabkan kami melakukan pencatatan harga asset yang lebih konservatif di bawah harga pasar, yang tidak sesuai dengan ketentuan harga wajar pada produk Reksadana Danamas Mantap Plus dan Reksadana Simas Syariah Pendapatan Tetap," kata Direktur Sinarmas Asset Management, Jamial Salim, dalam keterangannya, Selasa (26/5/2020).
Namun, lanjut Jamial, seiring dengan membaiknya pasar, pihaknya telah menyesuaikan harga asset dimaksud serta mengkomunikasikan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Advertisement
Baca Juga
Ia mengatakan bahwa PT Sinarmas Asset Management sebagai salah satu unit usaha di bawah pilar Sinar Mas Financial Services bertanggung jawab sepenuhnya atas semua produk yang dipasarkan.
"Prioritas kami adalah memberikan pelayanan yang terbaik kepada nasabah. Kami mengimbau nasabah tidak perlu khawatir karena suspensi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya bersifat sementara terhadap pembelian baru," ujarnya.
Kemudian, jika nasabah mau menjual produk reksadana yang dimiliki dapat dilakukan setiap saat, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di seluruh kantor cabang Sinarmas Asset Management.
Jamial menegaskan kembali, PT Sinarmas Asset Management adalah lembaga keuangan yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. "Kami selalu mengutamakan ketentuan hukum yang berlaku," pungkasnya.
Reksa Dana Pasar Uang Dipandang Cocok Jadi Instrumen Investasi di saat Pandemi Corona
Dalam dunia perekonomian dikenal istilah siklus perekonomian yang artinya adalah fluktuasi perekonomian dari periode ekspansi (pertumbuhan) dan kontraksi (resesi). Secara teori terdapat 4 fase dalam siklus ekonomi yaitu ekspansi, titik puncak, kontraksi, dan resesi. Periode antar siklus bervariasi dari 1 tahun hingga 10 tahun.
Bagaimana dengan posisi Indonesia saat ini?
Seharusnya perekonomian Indonesia memasuki siklus ekspansi setelah pada periode-periode sebelumnya berada di titik terendah. Namun, adanya wabah pandemic virus covid-19 secara global termasuk Indonesia telah merubah skenario awal dari pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia.
Pasar finansial Indonesia juga bereaksi negatif akibat wabah virus ini. Dikutip dari Bloomberg, sampai dengan 7 april 2020, terjadi capital outflow di pasar saham maupun obligasi yang cukup signifikan.
Hal ini menyebabkan IHSG mencatatkan pertumbuhan negatif 24 persen begitupun dengan pasar obligasi dimana yield untuk obligasi 10 tahun mengalami peningkatan hingga 8,1 persen (yield berbanding terbalik dengan harga obligasi). Hal yang sama juga dirasakan oleh nilai tukar rupiah yang melemah hingga mencapai level 16,230.
Direktur Utama Danareksa Investment Management (DIM) Marsangap P. Tamba menyampaikan, dalam merespons kondisi yang berkembang, otoritas mengeluarkan beberapa kebijakan ekonomi antara lain, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan 7-Days Reverse Repo di level rendah, yaitu 4,50 persen dan intervensi tidak terbatas untuk menjaga stabilitas dan penguatan nilai tukar rupiah.
"Pemerintah juga peningkatan anggaran belanja negara hingga IDR 405 T untuk menangani kasus corona oleh Pemerintah," kata Marsangap dalam keterangan tertulis, Senin (20/4/2020).
Dengan kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan dapat menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta dalam upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak Covid-19.
Namun demikian, Bank Indonesia menyampaikan, seiring dengan penurunan ekonomi global dan penyebaran Corona di dalam negeri akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi domestik yang diperkirakan sebesar 2,3 persen secara keseluruhan di tahun 2020.
“Pada kondisi pasar finansial yang masih cukup berfluktuasi, Reksa Dana Pasar Uang dapat menjadi pilihan investasi bagi investor selama masa wait and see.” kata Marsangap.
Advertisement