Liputan6.com, Jakarta Harga minyak dunia mulai merangkak naik usai anjlok beberapa bulan terakhir dipicu penurunan permintaan. Tercatat, harga minyak jenis brent naik 8,09 persen menjadi USD 36,06 per barel sepanjang minggu kemarin. Pada bulan April lalu, minyak brent masih berada di level USD 16 per barrel.
Sementara minyak jenis light sweet terangkat nyaris 13 persen, di kisaran USD 37 per barel. Pada bulan sebelumnya, harga tertinggi light sweet di USD 21 per barel.
Baca Juga
Pemangkasan pasokan dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan pemulihan permintaan minyak seiring pelonggaran lockdown mengangkat harga minyak dunia. Dengan kondisi yang ada, permintaan beberapa pihak agar menurunkan harga BBM dinilai kurang tepat.
Advertisement
Direktur Eksekutif Energi Watch, Mamit Setiawan menilai, langkah pemerintah yang tidak menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah kenaikan harga minyak dunia sudah tepat.
"Saat ini harga minyak terus fluktuatif. Belum lagi mata uang Rupiah kita yang masih terdepresiasi," jelas Mamit di Jakarta, Kamis (28/5/2020).
Terlebih, saat ini sejumlah daerah telah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di tengah pademi virus corona atau Covid-19. Sehingga terjadi penurunan konsumsi terhadap BBM dan penaikan harga BBM di dunia tidak terlalu berpengaruh terhadap masyarakat.
"Saya melihatnya di tengah PSBB saat ini di mana konsumsi BBM terus mengalami penurunan sampai 26,4 persen tidak terlalu berdampak signifikan kepada masyarakat,"Â jelas Mamit.
Â
Subsidi
Dengan kondisi saat ini, subsidi energi terutama BBM akan lebih bagus dialihkan untuk sektor kesehatan masyarakat yang terdampak Covid-19. Selain itu juga, bisa digunakan untuk membantu masyarakat yang terdampak karena Covid-19 ini dengan memberikan bansos atau BLT.
"Subsidi BBM juga bisa untuk membantu masyarakat terutama pengguna listrik 1.300 VA, yang saya kira juga banyak terdampak karena faktor pekerja yang kena PHK,"Â jelas dia.
Dengan demikian dampak dari energi murah adalah keberlangsungan EBT yang akan sedikit tertunda. Ketika energi fossil lebih murah dari EBT maka, akan lebih memilih energi fossil tersebut.
"Dengan demikian target bauran energi 23 persen pada 2025 sulit untuk tercapai. Padahal kita punya potensi EBT yang bisa dimaksimalkan. Belum lagi jika energi murah tersebut hasil subdisi maka dampaknya terhadap APBN kita akan semakin jelas. Hampir setiap tahun subsidi APBN kita bisa dikatakan jebol," ujar Mamit.
Jikapun melebihi kouta, kata Mamit, maka yang akan menanggung adalah badan usaha dalam hal ini Pertamina. Ini juga menjadi beban bagi Pertamina jika terus di subsidi. Masyarakat akan semakin dinina bobokan dengan subsidi ini.
"Tanpa adannya konversi energi, kita dengan produksi migas hanya 750.000 barrel of oil per day (BOPD) sedangkan konsumsi BBM kita sampai 1.5 juta BOPD maka kita akan lebih banyak mengimpor baik produk maupun minyak mentah. Dampaknya adalah CAD akan semakin melebar impor migas ini. Rupiah sulit bergerak naik karena kebutuhan dollar yang semakin besar," jelas Mamit.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement