Liputan6.com, Jakarta - Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Enegi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Purbaya Yudhi Sadewa memberikan pernyataan mengejutkan soal terbengkalainya pembangunan kilang minyak Pertamina. Pihaknya menyebut adanya mafia membuat pembangunan kilang minyak terhambat.
"Pembangunan kilang terhambat. Kita anginnya kencang, karena kita berhadapan dengan mafia minyak ini," tegas dia melalui video conference via Zoom, Selasa (9/6).
Menurut anak buah Luhut Panjaitan ini keberadaan mafia migas dalam mega proyek pembangunan kilang Pertamina di Batam terasa begitu nyata.
Advertisement
Misalnya, saat perusahaan migas ternama Cinopec asal China hendak berinvestasi untuk proyek Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) di Batam tiba-tiba tersandung masalah hukum.
Baca Juga
Akibatnya, proyek tersebut tak Berprogres hingga tujuh tahun. "Artinya kita berhadapan dengan mafia minyak," terang dia.
Di sisi lain, Purbaya juga mengendus keberadaan mafia dalam berbagai mega proyek antara Pertamina dengan sejumlah perusahaan raksasa migas yang berujung pada kegagalan. Antara lain terputusnya kerjasama dengan perusahaan raksasa migas Aramco pada proyek kilang Cilacap.
Bahkan Pertamina disebutkannya sempat berkonflik dengan Overseas Oil and Gas (OOG) di proyek kilang Bontang. Untuk itu, pihaknya berjanji akan melakukan investigasi utnut membuktikan keterlibatan mafia dalam batalnya sejumlah kontrak kerjasama pembangunan kilang minyak Pertamina di berbagai daerah.
"Saya terlibat langsung dalam mengawal pembangunan kilang minyak di Balongan. Dan saya terus menekan mereka untuk tidak membatalkan investasinya," tegas dia.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pandemi Tak Surutkan Pertamina Lanjutkan Bangun Kilang Minyak
Pandemi Covid 19 berdampak pada kinerja operasional dan keuangan perusahaan, namun PT Pertamina (Persero) akan terus melanjutkan pembangunan kilang karena proyek tersebut sangat strategis untuk masa depan pemenuhan energi nasional.
Direktur Megaproyek Pengolahan & Petrokimia, Ignatius Tallulembang menjelaskan bahwa membangun kilang merupakan keharusan dan keniscayaan bagi suatu negara. Secara global, hampir semua negara dengan dengan populasi yang besar mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar domestik secara mandiri dalam rangka menjamin ketersediaan energi atau security of supply.
“Langkah tersebut tidak bisa ditawar. Bahkan pada negara yang tidak menghasilkan crude sekalipun mereka juga tetap memprioritaskan membangun kilang. Sehingga di negara maju, umumnya mereka untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri menggunakan produksi dalam kilang sendiri dan telah zero import,” ujarnya.
Ignatius Tallulembang menambahkan, Singapura dengan penduduk sebanyak lima juta orang, memiliki kapasitas produksi kilang mencapai 1,5 juta barel per hari, lebih besar dari kapasitas produksi kilang Indonesia saat ini yakni sekitar satu juta barel per hari. Hal ini dapat dipahami, karena keberadaan kilang memiliki profitabiltas yang tinggi.
“Kami juga telah melakukan kajian dan evaluasi. Hasilnya, membangun kilang akan memberikan nilai tambah atau profitabilitas baik bagi perusahaan maupun negara,” imbuhnya.
Mengenai arti strategis upgrading kilang eksisting atau Refinery Development Master Plan (RDMP), dan pembangunan kilang baru atau dan Grass Root Refinery (GRR) Pertamina, Ignatius memaparkan, proyek yang digagas sejak sekitar tahun 2014 dilatarbelakangi sejumlah persoalan energi yang dihadapi Indonesia.
Untuk memenuhi optimum capacity kilang, crude yang diperlukan tidak cukup dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Sebagian besar crude impor merupakan sour crude dengan kandungan sulfur yang tinggi. Sementara kilang Pertamina dirancang untuk mengolah sweet crude, yaitu crude yang memiliki kandungan sulfur lebih rendah.
"Karenanya, kilang kita perlu penyesuaian agar lebih mudah dan efisien dalam mengolah crude dalam maupun luar negeri," tegas Ignatius.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal tersebut juga berhubungan dengan kondisi kilang Indonesia yang sebagian besar sudah tua dengan teknologi lama dan kompleksitas lebih rendah sehingga perlu segera dilakukan modifikasi untuk meningkatkan daya saingnya.
Tantangan lainnya, menyangkut supply and demand. Saat ini Pertamina memiliki lima kilang yakni Balikpapan, Cilacap, Balongan, Dumai, Plaju dan satu kilang kecil di Sorong, dengan total produksi BBM sekitar 680 ribu barel per hari. Sementara konsumsi BBM nasional sejak tahun 2017 telah mencapai 1,4 juta barel per hari.
“Artinya ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM masih tinggi. Meski sejak kuartal pertama tahun 2019 Pertamina sudah berhasil untuk tidak mengimpor Solar dan Avtur, namun impor utk produk lain masih diperlukan," jelasnya.
Dan yang terakhir, perlunya segera Indonesia memaksimalkan jumlah produksi BBM dengan spesifikasi lebih tinggi dan lebih ramah lingkungan.
“Kita harus genjot produksi BBM dengan standar yang lebih tinggi yakni Euro 4 dan 5, pararel dengan upaya Pertamina untuk terus mendorong masyarakat menggunakan BBM yang lebih berkualitas dan lebih ramah lingkungan seperti Pertamax dan Pertamax Turbo," katanya.
Dengan keempat alasan strategis tersebut, pengembangan dan pembangunan kilang Indonesia menjadi sebuah keharusan dalam mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi untuk Indonesia.
Advertisement