Liputan6.com, Jakarta Dirktorat Jenderal Kekayaa Negara Kementerian Keuangan kembali buka suara terkait utang PT Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo. Keduanya disebut belum melunasi utang kepada pemerintah yang sudah jatuh tempo pada 10 Juli 2019 lalu yang mencapai sebesar Rp773 miliar
Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Isa Rachmatawarta mengatakan, sejauh ini komunikasi kepada keduanya terus dilakukan secara baik. Bahkan, Lapindo telah menawarkan asetnya untuk dijadikan sebagai bentuk ganti rugi atau membayar utang ke pemerintah.
Baca Juga
"Mereka tawarkan untuk menggantinya atau membayarnya dengan aset. Jadi lapindo sudah berkirim surat resmi, mereka minta untuk tukar aset saja, asetnya ada di wilayah terdampak itu maupun kalau dianggap kurang dari tempat lain," ujar Isa melalui diskusi virtual, Jumat (12/6).
Advertisement
Isa menyebut pembayaran dengan aset bukan hal yang diharapkan oleh pemerintah. "Kami prefer (bayar) tunai. Tapi mereka punya itikad baik untuk bayar dalam bentuk lain. Ini juga tetap harus direspon," tutupnya.
Kendati begitu, pemerintah tetal menerima itikad baik dari Lapindo dengan menyerahkan asetnya meski belum diketahui nilainya. Penilaian ataupun perhitungan mengenai aset akan mulai dilakukan saat pandemi Covid-19 ini berakhir.
"Aset-aset yang mereka tawarkan sebagai pengganti, apakah cukup atau tidak belum tau. Kita tidak bisa menebak-nebak. Mudah-mudahan kalau Covid segera berakhir, kita bisa segera melakukan penilaian itu," jelasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kemenkeu Layangkan Surat Tagihan Utang ke Lapindo Brantas
Kementerian Keuangan terus berupaya melakukan penagihan utang jatuh tempo PT Lapindo Brantas Inc (LBI)/Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sekitar Rp 1,7 triliun termasuk utang dan tunggakan. Dari jumlah tersebut Lapindo baru membayarkan sekitar Rp 5 miliar.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara (Dirjen KN) Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, pihaknya sudah melayangkan surat penagihan pertama kepada Lapindo untuk utang jatuh tempo. Jika sampai penagihan ketiga utang tak juga dibayarkan, maka pemerintah berhak ambil alih aset Lapindo.
"Penagihan maksimal 3 kali. Setelah tiga kali kita bisa serahkan kepada panitia urusan piutang negara. Ini baru layangkan tagihan pertama," ujar Isa saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Selasa (31/7).
Isa mengatakan, pihak Lapindo sendiri terus memberikan update terbaru mengenai progres sertifikat lahan-lahan yang dibeli dari masyarakat. Sertifikasi tersebut diperlukan untuk mengetahui total keseluruhan aset yang dimiliki oleg perusahaan tersebut.
"Tapi mereka selalu update ke kami tiap minggu atau tiap dua minggu. Saya selalu dapat surat barang jaminan tanah tanah yang mereka beli dari penduduk itu. Progres sertifikat nya sampai sini, mereka lapor. Tapi ya kan kita pengennya bayar ya," jelasnya.
Isa tak menjelaskan secara rinci berapa lama proses penagihan hingga penyitaan aset. Menurutnya, penagihan hingga penyitaan memiliki lama progres sendiri-sendiri tergantung progres pelaporan yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
"Kalau piutang PNBP ya misalnya iuran frekuensi itu mereka bisa sebulan ya. Tapi kalau tagihan kayak gini bisa beberapa bulan gitu. Sekitar 3 sampai 6 bulan baru kita terbitkan lagi. Karena kalau yang aset BUN (Bendahara Umum Negara) ini biasanya besar besar kan dan biasanya atas dasar satu perjanjian," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Tunggakan Utang Lapindo ke Pemerintah Tembus Rp 1,7 Triliun
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) memberikan keterangan terkait Perjanjian Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi dari Pemerintah kepada PT Lapindo Brantas Inc (LBI) / Minarak Lapindo Jaya (MLJ).
Direktur Jenderal Kekayaan Negara (Dirjen KN) Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan bahwa Kemenkeu masih melakukan penagihan kepada PT Lapindo karena telah melewati batas pembayaran piutang yang jatuh tempo sejak 10 Juli 2019 silam.
“Total tunggakan LBI/MLJ yang telah jatuh tempo sebesar Rp1.763.724.747.342,44 (termasuk bunga dan denda),” kata Isa seperti dikutip dari laman Setkab.go.id, Jakarta, Sabtu (13/7/2018).
Menurut Dirjen Kekayaan Negara itu, penagihan tetap dilakukan oleh Kementerian Keuangan kepada PT Lapindo atas dasar perjanjian kredit yang telah disepakati.
Mengenai keinginan PT Lapindo untuk melakukan set off dengan cost recovery, Isa menegaskan, secara aturan, tidak memungkinkan pihaknya melakukan negoisasi dengan hal-hal seperti itu.
“Bukan masalah kami tidak mau tetapi menurut aturan cost recovery-nya yang justru tidak memungkinkan. Cost recovery hanya memungkinkan dari revenue yang dihasilkan oleh wilayah kerja pertambangan di sini,” pungkas Isa.