Sukses

Jadi Negara Produsen Terbesar Keempat, Industri Sepatu Indonesia Kian Menggeliat

Dalam empat tahun terakhir, industri sepatu sneaker dalam negeri semakin meningkat dengan berbagai merek baru yang bermunculan.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam empat tahun terakhir, industri sepatu sneaker dalam negeri semakin meningkat dengan berbagai merek baru yang bermunculan. Salah satunya, yang mencuat adalah merek Redknot.

Pendiri Redknot.id Oei Wendy menilai bisnis sepatu di Indonesia masih potensial. Mengingat, Indonesia adalah produsen ke-empat terbesar di dunia saat ini setelah China, India, dan Vietnam.

“Saya melihat ini adalah opportunity yang besar untuk masuk ke industri sepatu. Market-nya sangat besar,” kata Wendy dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (16/6/2020). 

Selain itu, Wendy menilai saat ini banyak brand besar dari luar negeri yang ternyata juga memiliki fasilitas produksi di Indonesia. Sehingga, industri sepatu lokal dapat dikatakan memiliki kualitas internasional.

Dia mengatakan bahwa ke depannya Redknot akan terus memproduksi model sepatu berbeda. Disamping, perusahaan yang memiliki lebih dari 108K followers di Instagram ini berekspansi sekaligus menambah jaringan distribusi. Misalnya, awal Juni lalu, seri terbaru Redknot Altitude diluncurkan.

Model sepatu yang hanya dijual terbatas tersebut habis dalam waktu kurang dari satu jam.

“Model sepatu terkenal ringan langsung dirajut oleh pengrajin Indonesia. Kami yakin buatan lokal memiliki kualitas yang tidak kalah dengan brand luar,” jelas Wendy.

Menurutnya, awalnya banyak masyarakat yang tidak sadar akan adanya merek sepatu lokal berkualitas. Untuk itu Redknot mencoba membantu menyampaikan pesan ini ke masyarakat dengan tagline From Indonesia to Indonesia.

“Ketika brand kami semakin naik kelas, orang akan melihat nantinya adalah “buatan mana” bukan hanya nama brand saja,” pungkasnya

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Pandemi Corona Dorong UMKM Beradaptasi ke Pasar Online

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, UMKM pada saat pandemi Corona Covid-19 berbeda dengan UMKM pada saat krisis moneter 1998. Pada 1998, UMKM betul-betul menjadi penyelamat ekonomi nasional ketika banyak usaha besar yang kolaps. Bahkan, nilai ekspor UMKM saat itu mampu meningkat hingga 350 persen.

“Saat ini, justru UMKM yang sangat terdampak," kata Teten dalam keterangan tertulis, Selasa (2/6/2020).

Lanjut Teten, pelaku UMKM terkena dampak baik dari sisi permintaan maupun pasokan. Data dari Call Center KemenkopUKM menyebutkan bahwa yang paling terpukul adalah sisi permintaan dan pemasaran. Dari sisi pasokan juga menyangkut SDM yang turun. Juga, harga bahan baku meningkat.

Oleh karena itu, Teten mengatakan, pemerintah sudah merumuskan lima langkah untuk menjawab masalah-masalah tersebut, yakni program Bansos untuk usaha ultra mikro, insentif pajak, stimulus pembiayaan, pinjaman baru yang dipermudah, serta BUMN sebagai penyangga bagi produk-produk sektor pertanian dan perikanan.

Lima skema tersebut berlaku hingga September 2020. Jika lewat dari itu, maka beban APBN akan sangat berat.

“Saat ini pun kita sudah defisit, maka pemerintah menerbitkan Perppu untuk mencari pinjaman baru, menerbitkan surat utang. Dan itu bukan hal yang mudah”, ungkapnya.