Sukses

Dampak Corona, Penjualan Rokok Elektrik Anjlok 50 Persen

Kini sudah sekitar lebih dari setengah toko-toko penjual rokok elektrik yang ditutup seiring mewabahnya corona di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Besarnya potensi dan kontribusi industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) bagi pemasukan negara tentunya mesti dibarengi dengan dukungan kebijakan yang memadai.

Industri HPTL merupakan industri baru yang didominasi oleh pelaku UMKM, dan diyakini mampu menyerap banyak tenaga kerja. Namun, seiring mewabahnya virus corona (Covid-19) di Indonesia, penjualan rokok elektrik di sepanjang kuartal I tahun ini anjlok hingga lebih dari 50 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.

Menurut catatan asosiasi, hingga kini sudah sekitar lebih dari setengah toko-toko vapestore milik anggota yang ditutup seiring mewabahnya corona di Indonesia.

Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah yang sudah mendapat imbauan pengurangan aktivitas luar rumah dari pemerintah daerah setempat seperti misalnya Jakarta, Bogor, dan Bali.

Oleh karena itu, aturan kebijakan diperlukan utamanya terkait pengaturan dari hulu hingga hilirnya nanti terkait keberadaan industri UMKM rokok elektrik tersebut.

Adapun dari sisi regulasi, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Supriadi, mengakui bahwa regulasi di sektor tersebut perlu diperkuat dan diperjelas lagi.

"Masalah kebijakan, kepastian, dunia usaha ini mau melakukan penelitian dan pengembangan ekstrak tembakau lokal, kepastian berusahanya juga di dalam negeri ini masih belum pasti. Peraturan juga baru ada PMK, ada Permendag," jelasnya.

Meskipun sebenarnya investasi untuk industri rokok elektrik ini terbuka, kata Supriadi, namun tidak seperti rokok konvensional yang mana rokok itu terbuka tapi dengan persyaratan.

"Meski investasi industri rokok elektrik ini terbuka, cuma mereka karena kebijakan di dalam negeri belum pasti, belum ada kepastian berusaha. Mereka, terus terang saja ini saya mendengar keluhan dari Asosiasi Industri, jangan-jangan nanti sudah investasi besar-besaran tiba-tiba dilarang," ungkapnya.

"Dan kalau mengenai standar sebenarnya kita sudah mulai. Justru ini kita memulai untuk melakukan membuat standar rokok elektrik, sebenarnya ini juga dalam rangka agar ada kepastian," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Aturan Rokok Elektrik

Supriadi mengatakan, setidaknya ada beberapa hal yang mesti diperhatikan nantinya ketika membuat aturan terkait industri rokok elektrik itu.

"Masalah-masalah kebijakan yang perlu dilakukan, bahwa mungkin kita ada masalah aspek seperti standar. Standar itu bagaimana konsentrasi nikotinnya yang aman untuk konsumen. Disamping itu kita juga untuk kepastian berusaha, disamping tadi standar untuk perlindungan konsumen, kepastian berusaha ini untuk perlindungan produsen, untuk investor. Disamping itu juga tata niaga, perdagangannya, mereka juga ragu," jelas dia.

"Kemarin ini kan hampir diubah juga Permendagnya. Jangan-jangan nanti impor dilarang. Tapi kalau sudah ada undang-undang atau peraturan pemerintah atau payung hukum yang sangat kuat, ini kepastian berusaha buat itu (industri rokok elektrik). Yang penting adalah kepastian berusaha," lanjut dia.

Supriadi kemudian menambahkan bahwa khusus soal standar, Kementerian Perindustrian, melalui Direktorat Jenderal Industri Agro sudah mengirimkan surat kepada BSN (Badan Standardisasi Nasional) terkait PNPS (Program Nasional Perumusan Standar) yang belum muncul.

Standarisasi ini akan disegerakan dan menjadi prioritas Kementerian Perindustrian dan juga BSN. “Jadi mudah-mudahan tahun ini standar akan kita buat dan mudah-mudahan selesai tidak ada halangan apapun juga," ujarnya.

Staf Khusus Menteri Perekonomian Bidang Pengembangan Industri dan Kawasan I Gusti Putu Suryawirawanmengatakan, menyikapi peluang dan potensi dari industri rokok elektrik pihaknya pun tengah memikirkan aturan dasar dalam menopang industri rokok elektrik ini.

"Yang sekarang sedang kami coba agak disegerakan itu adalah yang terkait dengan standar karena ini kalau tidak ada standar, agak susah kita bergerak. Siapa yang akan dibantu dan dimana, dan tidak ada juga semacam leverage untuk insentif. Insentifnya yang akan diberikan seberapa besar, kemana kalau tidak ada standarnya ini repot. Makanya ini jadi concern kita juga," ujarnya.

"Jadi menurut saya, mungkin kita tidak perlu membuat standar ini dari nol, mungkin kita adopsi saja dari negara-negara yang sudah maju supaya ada semacam safe and secure dari pengusaha ini. Takutnya dia melakukan usaha itu jadi salah," tambahnya.

 

3 dari 3 halaman

Stadarisasi

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Aliansi Vaper Indonesia (AVI) Johan Sumantri mengatakan, memang standarisasi untuk industri rokok elektrik dalam beberapa hal sudah terpenuhi. Meskipun masih ada juga yang masih dalam proses.

"Dari Beacukai sudah ada standar minimum ya mulai dari kebersihan ruang produksi tapi untuk standarisasi lebih seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) sedang dalam proses karena industri ini industri UMKM jadi butuh proses apalagi kita industri baru kapasitas modal terbatas dan yang terpenting kita lagi kejar legalisasi. Legalisasi penting karena selama ini hanya ditarik cukainya saja," ungkap Johan.

Johan menambahkan, sejauh ini para pelaku indsutri vape masih menggunakan standar dari konsumen dan belum dibakukan. Segala hal mulai dari standar harga dan juga produksi perlu menjadi perhatian khusus.

“Standarisasi diperlukan sebagai kepastian hukum bagi pengguna. Itu yang jadi concern kita dan kita rapihkan," sambungnya.

Tak hanya itu, Johan juga menganggap selain soal standarisasi pihaknya juga mendorong agar standar perlindungan bagi konsumen juga mesti dipikirkan.

"Perlindungan amat penting bagi konsumen karena dengan begitu ada kepastian. Mulai dari kepastian kandungan, dari cara produksinya, higienisnya dan lainnya. Saat ini kami tengah bekerjasma dengan APeM (Asosiasi Pengusaha e-Liquid Mikro). AVI mendorong hal tersebut," katanya.

Sebagai penutup, AVI, kata Johan, berharap agar ada aturan yang dapat menguntungkan semua pihak terkait keberadaan industri rokok elektrik ini. Dari hulu hingga hilirnya.

"Regulasi harus untungkan semua pihak, kita gak bisa harus benar-benar consumer minded (hanya menguntungkan konsumen). Kalau consumer minded nanti justru merugikan produsen dan nantinya justru malah mati industrinya. Tapi hanya menguntungkan produsen juga gak bagus nantinya gak balance. Negara juga harus kita pikirkan, intinya regulasi dibuat harus win win solution," pungkasnya.

Â