Liputan6.com, Jakarta - Ketua Tim Pelaksana Komite Cipta Kerja, M Rudy Salahuddin, membeberkan sejumlah rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait keberlangsungan program Kartu Prakerja yang menuai banyak polemik di masyarakat.
Dalam konferensi pers, Senin (22/6/2020), Rudy menyebutkan empat hal yang disoroti KPK untuk Kartu Prakerja, diantaranya proses pendaftaran peserta.
Baca Juga
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan ada 1,7 juta pekerja terdampak (whitelist). Namun, hanya sebagian kecil dari ‘whitelist’ tersebut yang mendaftar secara daring, yakni hanya 143.000 orang. Padahal ada 9,4 juta orang yang mendaftar program Kartu Prakerja selama tiga gelombang.
Advertisement
Penggunaan anggaran sebesar Rp 30,8 miliar untuk fitur recognition guna pengenalan peserta juga dinilai tidak efisien. Kemitraan dengan platform digital dinilai rentan penyelewengan karena dilakukan tanpa melalui mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
"Kedua, platform digital, KPK menyototi adanya kekosongan hukum dalam pemilihan dan penetapan mitra dan menunjuk platform digital dalam Kartu Prakerja yang seharusnya PMO bukan komite, dan konflik kepentingan.
"Mereka (KPK) merekomendasikan agar ada legal opinion ke JAMDATUN (Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara) terkait legal opinion ini," kata dia.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Konten Pelatihan
Ketiga, konten pelatihan tidak semuanya dianggap layak oleh KPK, sehingga diminta untuk melibatkan tenaga ahli untuk kurasi pelatihan-pelatihannya.
KPK menilai kurasi materi pelatihan tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai. KPK juga menemukan pelatihan yang sebenarnya telah tersedia melalui jejaring internet dan tidak berbayar.
Â
Advertisement
Metode Pelaksanaan
Terakhir, KPK menilai metode pelaksanaan program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan dapat merugikan keuangan negara.
Sebelumnya, pada 30 April lalu, Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto menyampaikan surat ke KPK untuk audiensi memberi penjelasan dan meminta masukan KPK dalam rangka pelaksanaan pra kerja. Bukan hanya KPK, pada 28 Mei Menko Airlangga juga meminta masukan dari lembaga lain yang terkait, termasuk Mensesneg, Jaksa Agung, Kepala KPK, BPKP, dan Kapolri.