Liputan6.com, Jakarta - Menanggapi polemik terkait kebijakan diskon rokok, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto menegaskan, pabrikan wajib menjual rokok dengan harga transaksi pasar (HTP) atau harga akhir konsumen minimal 85 persen harga jual eceran (HJE) atau harga banderol yang tercantum pada pita cukai.
Ia menyatakan hal ini bertujuan melindungi pabrikan kecil dari praktik predatory pricing (jual rugi).
Baca Juga
Predatory pricing merupakan praktik jual rugi yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan cara menjual produk dengan harga serendah-rendahnya, dengan tujuan mematikan produk pesaingnya. Praktik ini umumnya dilakukan perusahaan yang memiliki kekuatan finansial besar.
Advertisement
“Soal HTP kami menerapkan yang namanya floor price (harga dasar) tidak mungkin lebih rendah 85% dari HJE. Tujuannya untuk mengontrol supaya tidak ada predatory price, konsekuensinya akan kami tegur dengan surat jika dalam triwulan berikutnya tidak memperbaiki,” jelas Nirwala pada diskusi virtual, Jumat (23/6/2020).
Namun, dalam keterangan lanjutannya, diketahui bahwa teguran terhadap pedagang yang melanggar ketetapan floor price 85% ini hanya berlaku jika ditemukan penjualannya di lebih 40 kantor wilayah bea cukai yang melakukan pengawasan.
“Ada yang menjual di ritel di bawah 85 persen HJE dan ditemukan lebih dari 40 kantor maka kami tegur,” kata Nirwala.
Nirwala sendiri tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa Bea Cukai memberikan kelonggaran hingga 40 kantor area sebelum memberikan teguran kepada pabrikan yang menjual rokok di bawah 85 persen HJE.
Sesuai PMK 188 tahun 2016, diketahui bahwa total kantor wilayah DJBC di seluruh pulau Jawa hanya meliputi 37 kantor area, yang terdiri 2 KPU dan 35 KPPBC.
Pengecualian cakupan pengawasan bea cukai (50 persen kantor wilayah atau 40 kantor area) inilah yang kemudian dipersoalkan karena tidak memiliki landasan yang jelas dan dinilai memperlebar praktek diskon rokok.
Dengan adanya pengecualian ini, tujuan pengontrolan predatory pricing yang dinyatakan Nirwala menjadi tidak tercapai. Klausul pengecualian tersebut juga bertolak belakang dengan upaya pengendalian konsumsi rokok dan mengancam penerimaan negara.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selanjutnya
Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2019 menyebutkan, potensi kehilangan pendapatan negara dari PPh badan akibat diskon rokok mencapai Rp 1,73 triliun. Temuan Peneliti Kebijakan Publik Emerson Yuntho menunjukkan, potensi kehilangan pendapatan itu bertambah menjadi Rp 2,6 triliun di tahun 2020.
Sebelumnya, Direktur INDEF Tauhid Ahmad menjelaskan, muncul beberapa persoalan di lapangan terkait pengawasan produk rokok yang menjual di bawah 85 persen HJE.
“Terdapat indikasi merek rokok tidak sesuai dengan batas di wilayah yang disurvei, sehingga tidak dikenakan penyesuaian seperti yang diatur,” ujar Tauhid.
Ia pun menyarankan klausul pengecualian di 40 area kantor DJBC dikaji kembali karena menimbulkan persaingan tidak sehat.
Emerson Yuntho juga mendesak pemerintah segera merevisi kebijakan Perdirjen 37/2017 karena kontradiktif terhadap aturan di atasnya. “Catatannya adalah produsen masih boleh menjual rokok di bawah 85 persen selama dilakukan di 50 persen wilayah pengawasan DBC. Mengapa harus diberikan kelonggaran 50 persen dari wilayah pengawasan bea cukai?,” tegas Emerson.
Emerson menambahkan belum ditemukan naskah akademik terkait peraturan dan penjelasan mengenai dasar 50 persen cakupan pengawasan atau 40 kantor wilayah DJBC ini. Belum lagi, klausul ini hanya menguntungkan perusahaan besar. Buktinya, sejumlah merek rokok keluaran perusahaan besar diketahui menjual produksinya per bungkus di bawah 85 persen HJE.
Beberapa temuan Emerson pada pertengahan Juni 2020 menunjukkan maraknya harga rokok yang dijual di bawah 85 persen HJE yang dilakukan oleh pabrikan besar. Rokok Dunhill Mild milik British America Tobacco dengan HJE Rp 27 ribu, misalnya, dijual dengan harga Rp 20 ribu (76 persen dari HJE), LA Bold milik Djarum dengan HJE Rp 34.000 dijual Rp 25.000 (74 persen), A Filter milik Sampoerna dengan HJE Rp 20.400 dijual Rp 15 ribu (73 persen), dan Pro-Mild milik Gudang Garam dengan HJE Rp 27.000 dijual Rp. 20.700 (76 persen).
“Masih banyak lagi merek-merek rokok lain yang menjual di bawah 85 persen HJE,” pungkas Emerson.
Advertisement