Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Covid-19 membuat pendapatan industri olahraga global diproyeksikan terpangkas hingga 50 persen atau menjadi USD 73,3 miliar di tahun ini. Padahal traget pra-pandemi di industri ini mencapai USD 135,3 miliar.
Hal ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. "Industri olahraga global sangat terdampak. Olahraga sebagai penyumbang kegiatan ekonomi hampir mencapai USD 140 miliar mengalami penurunan," kata dia dalam webinar via YouTube, Selasa 30/6).
Airlangga menjelaskan terpangkasnya penerimaan industri olahraga global disebabkan oleh penundaan sejumlah pertandingan dari berbagai cabang olahraga lumbung uang. Diantaranya liga-liga sepakbola dunia yang digeser pelaksanaannya ke tahun 2021.
Advertisement
Baca Juga
Namun, apabila terpaksa digelar pada tahun ini. Sejumlah negara mewajibkan penyelenggaraa pertandingan tanpa penonton yang artinya klub elite dunia bakal kehilangan penerimaan dari keuntungan penjualan tiket.
Ketua Umum Pengurus Besar Wushu Indonesia (PB WI) ini juga menyebut turunnya pendapatan industri olahraga juga dipengaruhi oleh penundaan pelaksanaan Olimpiade 2020 di Jepang.
Imbasnya industri tersebut mengalami kerugian hingga USD 13,4 miliar akibat biaya yang telah di keluarkan panitia untuk perbaikan prasarana dan sarana penunjang.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
E-Sports
Meski begitu, cabang olahraga e-sports justru mencatatkan torehan positif selama pandemi global ini berlangsung. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya penggunaan akses internet di sejumlah negara.
"Tapi kan e-sports ini belum se-familiar olahraga lainnya. Dan harus diakses melalui gadget untuk melakukannya," tukasnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Intip Kebijakan Berbagai Negara Atasi Dampak Corona ke Ekonomi
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana mengatakan seluruh negara di dunia mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menyelamatkan ekonomi negara dari pandemi Virus Corona.
Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan melakukan restrukturisari kredit agar pelaku usaha tetap bisa menjalankan usahanya tanpa terbebani pembayaran pinjaman.
"Semua negara merespon pandemi ini dengan berbagai kebijakan. Kita melihat negara tetangga kita melakukan relaksasi," ujar Heru dalam Video Conference, Jakarta, Selasa (19/5).
Setidaknya dalam catatan Heru, ada 5 negara di dunia yang melakukan pelonggaran kredit sama seperti Indonesia. Pertama, Hongkong melakukan penurunan kewajiban minimum pemenuhan countercyclical buffer (CCyB) dari 2 persen menjadi 1 persen. Kemudian untuk debitur Usaha Menengah Kecil (UMK) dan individu yang terkena dampak perbankan melakukan relaksasi.
"Hongkong misalnya melskukan penundaan pembayaran dan perpanjangan waktu dan atau penurunan bunga kemudian juga menyediakan pinjaman tanpa agunan dan atau cerukan," jelas Heru.
Kedua adalah Malaysia. Malaysia melakukan penundaan sementara atau hanya 6 bulan untuk debitur yang memenuhi kriteria tidak perlu melakukan pembayaran dan keterlambatan pembayaran tidak dikenakan denda.
"Malaysia juga menurunkan NSFR minimum menjadi 80 persen, kemudian LCR diperbolehkan kurang dari 100 persen," jelasnya.
Negara ketiga adalah Filipina. Langkah pertama yang dilakukan Filipina adalah eksposur kepada debitur yang terdampak dikecualikan dari rasio NPLs.
Kedua, memperbolehkan penundaan pencatatan cadangan kerugian kredit kepada debitur yang terdampak maksimal selama lima tahun dengan persetujuan BSP.
"Filipina juga menerapkan tidak ada sanksi denda untuk keterlambata pelaporan prudensial selama 6 bulan. Keempat, bank didorong untuk meniadakan fee atas online banking atau electronic money," jelas Heru.Â
Singapura dan Jepang
Selanjutnya, negara Singapura. Singapura mengeluarkan 5 kebijakan untuk menahan gempuran pandemi Virus Corona. Pertama dengan penundaan pembayaran pokok dan bunga untuk kredit properti. Kedua, konversi kartu kredit menjadi term loan dengan suku bunga yang dicapping dengan jangka waktu 5 tahun.
Ketiga penundaan pembayaran pokok kartu kredit. Lalu keempat, penyesuaian batas permodalan dan likuiditas. Kemudian terakhir, negara tersebut juga melakukan penundaan penerapan penuh Basel III reforms.
Negara terakhir adalah Jepang. Jepang menginstruksikan bank agar menyiapkan kredit untuk membantu debitur dengan spesial bunga atau tanpa agunan. Bank juga diharuskan melakukan pendampingan kepada debitur untuk melanjutkan usaha. Lalu bank diwajibkan melakukan restrukturisasi kredit. Kemudian, menggunakan buffer modal dan likuiditas.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com Â
Advertisement