Sukses

Pengusaha Minta Pemerintah Segera Revisi PP Pemulihan Ekonomi Nasional

Kemungkinan resesi tergantung secepat apa pemerintah akan merevisi PP nomor 23 tahun 2020.

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi corona memorak-porandakan perekonomian dunia termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I saja merosot tajam hingga 2,97 persen. Bahkan banyak pihak yang memprediksikan pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2020 akan negatif.

Pengusaha sekaligus Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Gita Wiryawan mengatakan, Kadin Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan minus 6 persen di kuartal II 2020. Prediksi tersebut dikarenakan ada penurunan impor yang dahsyat.

“Kalau kita perhatikan kenapa pertumbuhan ekonomi bisa sampai minus 6 persen karena kalau saya lihat data-data dari perdagangan itu memang kelihatan surplus, tapi lebih dikarenakan penurunan impor yang lebih dahsyat daripada penurunan ekspor. Banyak yang tidak sadar bahwa 70 persen dari barang impor itu dibutuhkan untuk produksi dan konsumsi dalam negeri,” kata Gita kepada Liputan6.com, seperti ditulis Senin (6/7/2020).

Penurunan impor ini akan membuat kapasitas sektor produksi mengalami penurunan drastis, Ditambah juga nantinya akan mempengaruhi investasi dari luar negeri terkait penanaman modal.

“Penanaman modal asing juga turun, penanaman dalam negeri juga tidak terlalu banyak karena pertumbuhan kredit sampai akhirnya Mei 2020 cuma 2,68 persen. Tahun lalu pertumbuhan kredit sekitar 6 persen. Pertumbuhan kredit itu mempengaruhi penanaman modal di dalam negeri,” jelasnya.

Apalagi saat ini kondisi dunia usaha juga masih sulit karena yang ter-PHK sudah cukup banyak, sehingga jumlah pengangguran dipastikan meningkat. Meskipun ada pekerja yang di rumahkan, tapi perusahaan juga harus mengambil tindakan apabila kondisi perekonomian terus-menerus terpuruk.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Stimulus

Selain itu, Gita pun menilai progres stimulus penanganan Covid-19 masih sangat lambat. Misalnya penyerapan di berbagai bidang antara lain Kesehatan baru 1,54 persen, perlindungan sosial di 28,63 persen, insentif usaha 6,8 persen, UMKM 0,06 persen, Korporasi 0 persen dan sektoral pada 3,65 persen.

“Penggelontoran dana APBN juga agak lambat, Pemerintah masih kurang tepat, cepat dan kurang terpadu itu saja, sebenarnya sudah menuju ke arah yang benar tapi kurang saja, sudah terbukti realisasi UMKM tidak hanya 0,06 persen, kalau tidak kurang ya pasti akan 100 persen tidak akan nol koma,” ujarnya.

Demikian ia pun mengusulkan agar pemerintah segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Yirus Dt.Sease 2019 (Covid- 19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.

“Kemungkinan bisa resesi, ini semua tergantung secepat apa Pemerintah akan merevisi PP nomor 23 tahun 2020 yang terbukti tidak efektif, tadinya dibuat 2-3 bulan yang lalu untuk kepentingan penempatan dana di Bank perantara Himbara dan bank-bank swasta tapi tidak efektif restrukturisasinya,” katanya.

Padahal Kadin sudah memberitahu dari awal, bahwa harus ada konsep penjaminan untuk kepentingan restrukturisasi, kalau dengan penempatan dana saja hanya menjawab masalah likuiditas tapi tidak menjawab masalah kredit.

 

3 dari 3 halaman

Jurang Resesi

Menurutnya, masalah kredit hanya bisa diselesaikan jika ada penjaminan dari Pemerintah atau asuransi, namun hal itu tidak ada di PP 23, apabila PP tersebut tidak segera direvisi maka akan berlanjut masalahnya di dunia usaha, karena banyak sekali di perusahaan yang harus segera di restrukturisasi di perbankan.

“Saya melihat kalau PP 23 ini direvisi dengan konsep penjaminan, kita bisa menghindari kontraksi lagi di kuartal III, tapi kalau lambat dan revisinya kurang mantap, itu ada kemungkinan kontraksi lagi di kuartal III, itu prediksi kami negatif kalau ini tidak mantap revisinya, ada kemungkinan bisa kontraksi minus 2 sampai 3 tapi kalau sudah kontraksi dua kuartal berturut-turut itu namanya resesi,” pungkasnya.