Liputan6.com, Jakarta - Merebaknya pandemi Covid-19 turut membuat sektor investasi di Indonesia melemah. Situasi tersebut membuat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) harus merevisi realisasi investasi, yang awalnya ditargetkan mencapai Rp 886,1 triliun di 2020.
Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa besaran target tersebut didasarkan pada asumsi jika pandemi Covid-19 bisa berakhir di bulan Mei. Namun, hingga kini belum juga selesai.
"Target yang dicanangkan Bang Harso sebagai Kepala Bappenas pada tahun 2020 untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dan sudah direvisi, kami dikasih target kurang lebih sekitar Rp 886,1 triliun. Ini kami sudah revisi, kami mulai revisi itu sekarang, karena pemahaman ini terjadi ketika COVID-19 akan berakhir bulan Mei," jelas Bahlil dalam Launching dan Diskusi buku Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi Masa Depan Perekonomian Global dan Nasional, Senin ( 13/7/2020).
Advertisement
Adapun realisasi investasi pada triwulan I 2020 mencapai Rp 210,7 triliun. Realisasi ini lebih banyak disokong penyertaan modal dalam negeri (PMDN).
Sementara penyertaan modal asing (PMA) sudah menunjukkan penurunan lantaran mulai ditutupnya akses berbagai negara yang terdampak pandemi.
"Realisasi investasi di kuartal pertama itu sekitar Rp 210,7 triliun, di mana PMDN Rp 112,7 triliun atau 53 persen, dengan PMA Rp 98 triliun atau 46 persen. Kenapa PMA lebih sedikit. Kita tahu di kuartal pertama itu konsolidasi perusahaan PMA belum terjadi, kedua untuk pengiriman barang dari negara lain itu kita belum mengizinkan sehingga realisasinya lama," jelasnya.
"Kalau investasi ini kan baik dalam maupun luar memiliki kekuatan yang sama, kalau dari dalam negeri bisa lebih kuat kenapa enggak kita lakukan. Sepanjang triwulan I investasi membuka lapangan pekerjaan 303.805 orang," sambung Bahlil.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kepala BKPM Sebut Ada Hantu Berdasi dan Tak Berdasi yang Hambat Investasi
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menyebut terdapat investasi hingga Rp 708 triliun yang masuk ke Indonesia. Namun ternyata investasi ini tak jalan semua alias ada yang mangkrak.
“Rp 708 triliun ini adalah investasi yang sudah masuk ke Indonesia, ada yang 2 tahun, ada yang 3 tahun, ada yang 5 tahun, ada yang 7 tahun,” ujar Bahlil dalam Launching dan Diskusi buku Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi Masa Depan Perekonomian Global dan Nasional, Senin ( 13/7/2020).
Bahlil menyebutkan tiga hal yang menyebabkan investasi tersebut mangkrak. Pertama adalah alokasi sektoral. Kedua, adanya aturan yang tidak sinkron antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“Tetapi apakah bupati, gubernur itu salah? tidak salah, karena juga dikasih kewenangan oleh Undang-Undang Otonomi Daerah untuk membuat aturan-aturan turunan,” kata Bahlil.
Sehingga, lanjut dia, tidak perlu heran ketika tidak ada aturan yang sinkron satu sama lain.
Sedangkan untuk menyebab ketiga adalah praktik di lapangan yang menghambat investasi seperti pungli dan lainnya. “Dan yang ketiga adalah persoalan permainan lapangan,” sebut Bahlil.
“Ada hantu berdasi dan tidak berdasi. Mereka itu seperti angin, tapi tidak bisa dirasakan,” ucap Bahlil mengumpamakan faktor yang menghambat investasi tersebut.
Advertisement
Sebagian Telah Diselesaikan
Bahlil melanjutkan, BKPM mampu membuat investasi yang mangkrak tersebut kembali jalan. Namun memang, sampai saat ini belum semuanya atau Rp 708 triliun bisa terealisasikan. Baru ada sekitar Rp 410 triliun yang telah difasilitasi oleh BKPM.
“Sejak Oktober sampai Juni kemarin, dari Rp 708 triliun investasi mangkrak, sudah terealisasi sebesar Rp 410 triliun atau mencapai 58 persen,” jelasnya.
Adapun rinciannya, Bahlil membeberkan perusahaan yang selesai difasilitasi, diantaranya:
- Rosneft Rp 211,9 triliun
- Lotte Chemical Rp 61,2 triliun
- Vale Rp 39,2 triliun
- YTL Power Rp 38 triliun
- Hyundai Rp 21,7 triliun
- Kobexindo Rp 14 triliun
- Nindya Rp 9,5 triliun
- Tenaga Listrik Bengkulu (TLB) Rp 5,2 triliun
- Galempa Sejahtera Berama Rp 2 triliun,
Selain itu, jug ada Masdar, Minahasa Cahaya Lestari, dan Sumber Mutiara Indah Perdana (SMIP), masing-masing sebesar Rp 1,8 triliun. Kemudian Malindo Rp 1,1 triliun, serta lainnya Rp 1,4 triliun.