Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyampaikan, jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang mengajukan insentif pembebasan pajak penghasilan (PPh) saat ini masih terbilang minim.
Menurut perhitungannya, dari total 2,3 juta UMKM wajib pajak, baru sekitar 201 ribu UMKM atau kurang dari 10 persen yang telah mengajukan pemanfaatan insentif tersebut.
Baca Juga
"Jadi kalau ibarat kata gini, di tempat kami ini 2,3 juta adalah UMKM yang memiliki NPWP. Sekarang yang baru daftar untuk dapat insentif tadi 201 ribu sebetulnya. Ini kan berarti masih kurang dari 10 persen sebetulnya," tutur Suryo dalam sesi webinar, Senin (13/7/2020).
Advertisement
Merujuk pada kondisi ini, ia pun mempertanyakan mengapa uluran tangan yang diberikan pemerintah tersebut belum disambut baik oleh pelaku UMKM.
"Ini yang jadi pertanyaan bagi kami pun sama sebetulnya. Apakah memang sulit untuk melakukan pendaftaran, atau ada masalah lain? Kok UMKM banyak yang tidak memanfaatkan," ujarnya heran.
"Kalau boleh kami sampaikan, cara daftarnya pun tidak susah. Dilakukan online, dan diberikan keputusan untuk memanfaatkan dengan online," dia menambahkan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kirim Email
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan disebutnya telah bertindak dengan mengirimkan email ajakan kepada 2 juta UMKM wajib pajak. Sayangnya, ada 10 persen pesan digital yang gagal terkirim.
"Mari kita bahasakan, ada insentif yang bisa digunakan oleh UMKM supaya dia tidak perlu membayar pajak penghasilan di setengah tahun, plus mungkin 3 bulan berikutnya," imbuh Suryo.
Advertisement
Penerimaan Pajak Turun di Semester I-2020, Ini Pemicunya
Realisasi penerimaan pajak hingga semester I-2020 tercatat sebesar Rp 531,7 triliun. Angka ini turun 12 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 604,3 triliun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan, merosotnya penerimaan pajak dipicu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini berdampak ke aktivitas ekonomi dunia usaha terhenti dan imbas lanjutan mempengaruhi pendapapatan pebisnis.
"Kita juga melihat pelambatan ekonomi dikombinasikan dengan insentif pajak yang mulai berjalan memberikan dampak terhadap pendapatan pajak yang mengalami penurunan," kata dia di Banggar DPR RI, Jakarta, Kamis (9/7/2020).
Berdasarkan pertumbuhan per jenis pajak, PPh 21 pada Juni 2020 sudah mulai menunjukkan pemulihan di 13,5 persen pertumbuhannya. Kondisi ini berbanding terbalik jika melihat posisi Mei yang terkontraksi mencapai minus 28,4 persen.
PPh 22 Impor pada Juni juga masih menunjukkan posisi yang lebih baik sekalipun mengalami kontraksi sebesar minus 54,2 persen. PPh 22 impor kontraksi paling dalam justru terjadi pada April dan Mei sampai 67 persen.
"Pph Orang Pribadi (OP) tidak bisa dianalisa berdasarkan growth karena kita mengalami disrupsi dari sisi pembayaran akibat adanya pandemi sehingga terjadi pergeseran waktu pembayaran dari OP," kata dia.
Sementara untuk PPh Badan Kemenkeu melihat kondisi terburuk terjadi di bulan Mei mencapai diatas 53 pesen. Akan tetapi posisi Juni sudah menunjukkans sedikit perbaikan dan kontraksi yang mulai menurun di 41 persen.
"Pph 26 juga mengalami pembalikan dari yang negatif growth dari Mei menjadi positif growth pada Juni," imbuhnya.
Kemudian, untuk PPh final juga ada pola yang sama yaitu kondisi terburuk pada Mei dan pembalikan pada Juni. Untuk PPN dalam negeri konsisi terburuk terjadi pada Mei, dan Juni masih mengalami kontraksi dalam tapi sedikit lebih baik dari Mei. "Demikian juga PPN impor," singkatnya.
"Ini menggambarkan ekonomi kita dan masyarakat kita tekanan terberat terjadi pada Mei lalu, kita berharap Juni ini kita sudah mulai bisa melakukan pemulihan atau perbaikan dalam kondisi sosial masyarakat dan momentum ini diharapkan berjalan di kuartal III dan IV," jelas dia.