Sukses

Singapura Resesi, Bagaimana dengan Indonesia?

Singapura resmi masuk dalam jurang resesi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi Singapura menyentuh minus 41,2 persen di kuartal II 2020.

Liputan6.com, Jakarta - Singapura resmi masuk dalam jurang resesi. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi Singapura yang menyentuh minus 41,2 persen di kuartal II 2020.

Lantas, apakah resesi yang dialami Singapura ini juga akan dialami Indonesia?

Survei yang dilakukan Reuters menyatakan ekonomi negara-negara di Asia Tenggara diperkirakan merosot 37,4 persen dari kuartal ke kuartal. Sehingga bukan tidak mungkin Indonesia juga akan masuk ke dalam jurang resesi yang sama.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga telah menyatakan bahwa Indonesia bersiap mengalami resesi jika pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III 2020 tetap tumbuh negatif, melanjutkan pertumbuhan negatif yang diperkirakan akan terjadi di kuartal II 2020.

Secara skenario, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah sebenarnya memproyeksikan ekonomi Indonesia dapat tumbuh positif pada kuartal III. Namun pada saat yang sama, ia juga memperkirakan kemungkinan terburuk perekonomian negara anjlok hingga -1,6 persen pada periode tersebut.

"Kami berharap kuartal III dan kuartal IV 2020 ekonomi tumbuh 1,4 persen. Atau kalau dalam negatif bisa minus 1,6 persen. Itu technically bisa resesi kalau kuartal III negatif," ungkap Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Senada, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Rahayu Puspasari memastikan, Indonesia akan masuk resesi jika laju perekonomian pada kuartal III 2020 negatif, menyusul pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2020 yang diperkirakan -3,8 persen.

"Resesi dipahami secara umum sebagai suatu perlambatan ekonomi dalam kurun waktu sementara seperti yang diproyeksikan terjadi di 2020 ini mulai dari kuartal I 2020," jelas dia kepada Liputan6.com.

Menurut dia, definisi technical recession atau resesi teknik terjadi ketika suatu negara mengalaminya selama dua kuartal atau lebih. Tolak ukur lainnya yakni indikator aktivitas industri (purchasing manager index/PMI) berada di bawah 50.

Wanita yang akrab disapa Puspa ini menyampaikan, Indonesia sempat mengalami hal tersebut pada April dan Mei lalu, dimana PMI negara berada di level 28,6.

"Ini terjadi juga sebelumnya pada kuartal IV 2019, dimana isunya perang dagang," ujar Puspa.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Resesi dan Krisis, Mana yang Lebih Berbahaya?

Ekonom sekaligus Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah, mengatakan resesi itu definisinya secara umum adalah pertumbuhan ekonomi yang negatif selama 2 triwulan berturut-turut.

“Sebetulnya resesi ini adalah sesuatu yang tidak terlalu berbahaya, karena banyak negara yang mengalami resesi, apalagi di tengah wabah covid-19 ini sudah banyak negara menyatakan secara resmi mengalami resesi,” kata Piter kepada Liputan6.com, Rabu (24/6/2020). 

Australia Merasakan Resesi Ekonomi Pertamanya dalam 29 TahunJepang Masuk Jurang Resesi Ekonomi  Menurutnya resesi itu merupakan siklus bisnis dan sesuatu yang wajar terjadi, yang berbahaya itu bukan resesi tapi krisis, depresi  ekonomi.

Apabila suatu negara mengalami krisis sampai terdepresi maka itu yang terjadi bukan sekedar siklus bisnis atau resesi, melainkan kondisinya sudah lebih buruk dari itu.

“ Kalau resesi itukan perlambatan ekonominya menurun tapi masih sehat, krisis itu menurun sangat dalam dan sudah tidak sehat, sudah sakit. Nah, dunia usahanya sudah collapse sudah terjadi krisis,” ujarnya.

Ia pun merujuk pada krisis yang terjadi tahun 1998, pada saat itu pertumbuhan ekonominya sudah sangat dalam, dan perusahaannya banyak yang bangkrut,  karena perusahaannya bangkrut maka merambat ke sektor keuangan, non-performing loan (NPL)-nya naik sehingga perbankannya ikut bangkrut.

“Nah itu yang kita alami di tahun 1997 dan 1998 itu yang lebih berbahaya,” katanya. 

3 dari 3 halaman

Perlambatan Ekonomi

Demikian, menurut Piter kalau sekedar perlambatan ekonomi turun menjadi negatif seperti sekarang, misalnya kita yakini perkirakan triwulan 2 ini akan minus cukup dalam, Pemerintah saja sudah memperkirakan minus 3,8  persen, bisa lebih besar dari itu.

“Kemudian triwulan 3 diperkirakan masih negatif tapi lebih kecil negatifnya sampai minus 1 persen. Ini kan udah resesi udah 2 triwulan berturut-turut namanya resesi,” ujarnya.

Sehingga, ia mengatakan tidak apa-apa kita mengalami resesi, karena dunia usaha masih bisa bertahan, dan NPL dari dunia usaha terhadap sektor perbankan juga masih sehat, yakni dibawah 5 persen.

“Ya gak apa-apa karena kondisi ini memang kondisi yang umum dialami oleh semua negara di dunia yang paling penting adalah kita bisa dengan cepat recovery, sehingga tidak mengalami krisis dunia usaha kita tidak merambat ke sektor keuangan dan kita siap untuk recovery,” pungkasnya.