Sukses

Kisah Resesi di Indonesia, Bisa Tumbangkan Kekuasaan

Resesi sebenarnya bukan barang baru bagi Indonesia. Indonesia sempat beberapa kali mengalami resesi hingga mampu menjatuhkan kekuasaan.

Liputan6.com, Jakarta - Ancaman resesi terus menghantui berbagai negara dunia akibat adanya pandemi Covid-19. Terbaru, Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura melaporkan, pertumbuhan ekonomi Negeri Singa pada kuartal II 2020 mengalami kontraksi -12,6 persen secara year on year (YoY).

Pada kuartal sebelumnya, ekonomi Singapura juga tumbuh negatif -0,3 persen YoY. Artinya, Singapura telah mengalami kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut, sehingga masuk kategori resesi.

Hal serupa juga diprediksi terjadi di Indonesia. Mayoritas hampir sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun ini akan berada di bawah 0 persen. Begitu juga di periode berikutnya yakni pada kuartal III 2019.

Resesi sebenarnya bukan barang baru bagi Indonesia. Negara sempat beberapa kali mengalami resesi hingga berakibat pada terjatuhnya kekuasaan pada saat itu. Kisah pertama datang ketika NKRI masih berada di bawah jajahan Belanda.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menceritakan, Indonesia yang kala itu masih bernama Hindia Belanda sempat terkena jurang resesi pada 1930. Saat itu, pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Imbasnya, perekonomian Hindia Belanda kesulitan untuk pulih di tahun-tahun setelahnya. Kondisi tersebut lantas menimbulkan keresahan yang berujung kerusuhan. Termasuk dorongan kuat warga lokal untuk meraih kemerdekaan.

"Untuk resesi tahun 1930 bahkan menimbulkan guncangan pada kas Kolonial Belanda setelahnya. Dan ini yang memicu pemberontakan di mana-mana, termasuk dukungan agar Indonesia merdeka karena penjajah kolonial dianggap gagal memperbaiki situasi ekonomi rakyat," ungkapnya kepada Liputan6.com, seperti dikutip Kamis (16/7/2020).

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Orde Lama

Kisah resesi selanjutnya terjadi di periode 1960-an yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Orde Lama. Di penghujung 1950-an, Indonesia diguncang krisis keuangan. Menindaki hal tersebut, Presiden Soekarno kemudian menerapkan sistem ekonomi terpimpin.

Pemerintah Orde Lama segera melakukan kebijakan pengetatan moneter, seperti melakukan pemotongan nilai mata uang (sanering) sejak 25 Agustus 1959. Itu dilakukan untuk mencegah peninggian inflasi.

Namun, sanering turut menyebabkan daya beli masyarakat menurun drastis. Itu lantaran pemotongan rupiah tidak diikuti dengan penurunan harga-harga barang.

Langkah lainnya, pemerintah juga membekukan 90 persen giro dan deposito di bank di atas Rp 25 ribu, dan menukarnya dengan surat utang. Dalam memberlakukan kebijakan ini, Soekarno rupanya sama sekali tidak melibatkan Bank Indonesia (BI).

Imbasnya, berbagai kebijakan moneter tersebut tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Terjadilah hiperinflasi yang ditandai dengan laju inflasi sangat tinggi pada kisaran 100 persen atau bahkan lebih.

Situasi nasional semakin sulit lantaran saat itu Indonesia juga sedang terguncang akibat peristiwa G30S PKI 1965. Presiden Soekarno pun lengser dari jabatannya pada 1966.

 

3 dari 3 halaman

Orde Baru

Selang 32 tahun kemudian, tepatnya pada 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terkontraksi dua kuartal beruntun. Presiden Soeharto yang kala itu berkuasa bahkan harus merelakan kursi tertinggi RI sebelum negara sah dinyatakan resesi.

Bhima menjelaskan, pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I 1998 tercatat -7,9 persen. Pencapaian tersebut semakin parah di kuartal II, yang anjlok hingga -16,5 persen.

"Kondisinya minyak tanah langka, bbm naik, dan kerusuhan sosial menjalar di kota kota besar. Sementara kurs rupiah per Juni 1998 menembus rekor 16.800 per dolar, padahal Juni 1997 masih 2.350 per dolar. PHK massal terjadi hampir disemua sektor, ada 133.459 pekerja dari 676 perusahaan di-PHK saat itu," urainya.

Pasca masa krisis moneter tersebut, lanjut Bhima, negara butuh waktu yang cukup lama untuk pulih. Pertumbuhan ekonomi setelah krisis 98 sulit mencapai level 6 persen.

"Baru tahun 2011 era SBY pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Ini juga belum bisa menandingi pertumbuhan 1996 yang mencapai 8 persen. Jadi kurva nya L alias kita tidak akan kembali ke pertumbuhan sebelum krisis 98," ujar Bhima.