Sukses

Pemerintah Perpanjang Masa Berlaku 5 Insentif Pajak hingga Desember 2020

Insentif pajak ini diberikan untuk wajib pajak terdampak pandemik Corona Virus Disease (Covid-19).

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 86/PMK.03/2020. Aturan ini merupakan revisi dari PMK sebelumnya yakni Nomor44/PMK.03/2020, berisi tentang insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemik Corona Virus Disease (Covid-19).

Dalam aturan baru yang dikeluarkan pada 16 Juli 2020 itu, pemerintah memperpanjang masa berlaku 5 jenis insentif pajak yang sebelumnya berakhir September 2020 menjadi Desember 2020.

Diantaranya adalah, pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), insentif PPh final UMKM DTP, pembebasan PPh pasal 22 impor, pengurangan angsuran PPh pasal 25 sebesar 30 persen dan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat.

"Bahwa Peraturan Menteri Keuangan No. 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19 dinilai sudah tidak tepat, sehingga perlu dicabut,” tulis beleid tersebut seperti dikutip Jumat (17/7/2020).

Selain memperpanjang masa berlaku, pemerintah juga memperluas sektor usaha yang berhak mendapatkan insentif pajak. Di mana cakupan insentif PPh pasal 21 DTP dari 1.062 klasifikasi lapangan usaha (KLU) diperluas menjadi 1.189 KLU.

Kemudian, cakupan fasilitas pembebasan PPh Pasal 22 impor dari 431 KLU diperluas menjadi 721 KLU. Cakupan diskon angsuran PPh Pasal 25 diperluas dari 846 KLU menjadi 1.013 KLU dan restitusi PPN dipercepat dari 431 KLU menjadi 716 KLU.

"Untuk menangani dampak Covid-19 saat ini, perlu dilakukan perluasan sektor yang akan diberikan insentif perpajakan yang diperlukan selama masa pemulihan ekonomi nasional," tulis PMK tersebut.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Pengakuan Pengusaha Stimulus Fiskal dan Kartu Prakerja Kurang Efektif

Pengusaha Hotel dan Restoran menilai ada beberapa stimulus pemerintah yang dianggap kurang efektif. Diantaranya stimulus PPh 21, PPh 22 dan PPh 25.

"Ada beberapa stimulus dari pemerintah yang kurang efektif yaitu stimulus fiskal PPh 21, PPh 22 dan PPh 25," kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Hariyadi Sukamdani dalam Rapat Dengan Pendapat (RDP) bersama Komisi X, DPR-RI secara virtual, Jakarta, Selasa (14/7/2020).

Terkait stimulus fiskal PPh 21, pada kenyataannya saat ini mayoritas pekerja menerima kurang dari gaji normal. Sehingga dengan batasan stimulus Rp 200 juta per tahun atau Rp 16,67 juta per bulan dirasakan tidak ada manfaatnya.

Kemudian pada stimulus fiskal PPh 22, pembebasan pembayaran pajak impor dimuka dengan kondisi pasar domestik yang drop menyebabkan impor menurun. Sehingga manfaat stimulus fiskal ini relatif kecil manfaatnya.

Selanjutnya, Hariyadi mengatakan stimulus angsuran PPh 25 dikenakan diskon 30 persen dan membayar 70 persen. Namun dalam kondisi saat ini mayoritas perusahaan mengalami kerugian pada tahun 2020.

"Maka bila perusahaan bayar angsuran 70 persen, malah akan lebih bayar dan restitusi pajak akan memakan waktu yang lama," jelas dia.

Selain itu Hariyadi menilai program Kartu Prakerja juga dinilai tidak efektif. Insentif kompetensi dan semi jaringan pengaman sosial ini tidak dapat menjangkau sepenuhnya pekerja yang terdampak Covid-19.

Alasannya sistem pendaftaran program ini tidak tepat dengan kondisi saat ini. Sebab saat ini yang dibutuhkan masyarakat terdampak pandemi yaitu jaring pengaman sosial sepenuhnya.

"Sistem pendaftaran tidak tepat dengan kondisi saat ini yang dibutuhkan jaring pengaman sosial sepenuhnya," pungkas Hariyadi.