Liputan6.com, Jakarta - Rencana penyederhanaan nilai rupiah atau redenominasi kembali digulirkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Langkah redenominasi tersebut merupakan satu dari 19 regulasi dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan tahun 2020-2024.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, menyambut baik wacana redenominasi tersebut.
Baca Juga
Jika kebijakan redenominasi diterapkan di Indonesia dalam waktu yang tepat, bisa meningkatkan citra mata uang Indonesia di mata uang negara lain, dan memberikan dampak positif lainnya.
Advertisement
“Suatu hal penting dalam meningkatkan citra di mata uang negara-negara lain, khususnya dolar AS. Maka tentu saja akan meningkatkan kredibilitas mata uang kita di negara-negara luar, juga berpengaruh untuk investasi dan sebagainya,” kata Tauhid kepada Liputan6.com, Minggu (19/7/2020).
Menurutnya, dengan redenominasi pastinya kondisi nilai tukar Indonesia akan relatif stabil karena perbandingannya setara, misal USD 1 menjadi Rp 15. Dari sebelumnya USD 1 = Rp 15.000, ia menilai sangat jauh sekali perbandingannya.
Keuntungan lainnya yang didapatkan jika menerapkan redenominasi, yakni memudahkan dalam transaksi keuangan dengan nilai redenominasi, misal Rp 1000 menjadi Rp 1 akan memudahkan transaksi keuangan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Dampak Negatif
Kendati begitu, Tauhid menyebut ada sisi negatifnya, akan merugikan masyarakat, apabila penerapan redenominasi ini tidak dipersiapkan dengan matang.
“Satu produk dulunya dijual dengan harga Rp 14.000, bisa saja nanti angkanya menjadi Rp 14.500 pembulatannya menjadi Rp 14, tapi ada mata uang nanti yang harus diterbitkan yaitu mata uang pecahan Rp 0,5 dan sebagainya,” jelasnya.
Itulah alasan jika tidak dipersiapkan pecahan rupiahnya maka redenominasi itu akan merugikan masyarakat, jika memang akan dikurangi tanpa ada perencanaan yang matang, maka tentu saja harga akan bergejolak, dan perlu ada kejelasan dari perencanaan redenominasi tersebut.
“Menurut saya bisa diterapkan namun memang harus ada persiapan yang matang, tentu saja di sektor keuangan dan perbankan itu clear masing-masing harus punya persiapan, karena semua akan redenominasi dan nanti nilainya akan berkurang dan itu harus di konversi dan sebagainya,” pungkasnya.
Advertisement
Kemenkeu Gulirkan Kembali Wacana Redenominasi Rupiah
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memotong jumlah nol dalam rupiah atau redenominasi. Penyederhanaaan rupiah ini tersebut akan tertuang melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi).
Langkah redenominasi tersebut merupakan satu dari 19 regulasi dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan tahun 2020-2024. Renstra ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77 tahun 2020.
Urgensi pembentukan RUU Redenominasi tersebut berkaitan dengan penciptaan efisiensi perekonomian, berupa percepatan waktu transaksi serta berkurangnya risiko human error, efisiensi pencantuman harga barang dan jasa karena sederhananya jumlah dan digit rupiah.
"Menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit rupiah," demikian dikutip liputan6.com dari dokumen PMK 77/2020, pada Jumat 10 Juli 2020.
Dalam matriks 19 regulasi yang termasuk dalam Renstra Kemenkeu 2020-2024, Kemenkeu menjelaskan bahwa RUU Redenominasi akan berada di bawah tanggung jawab Direktorat Jenderal Pembendaharaan (DJPb) dan akan dibantu dengan Sekretariat Jenderal (Setjen) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai unit terkait.
Lantas, sebenarnya apa redenominasi? Mengapa redenominasi dilakukan dan apakah nominal mata uang Indonesia akan berubah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1?
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai rupiah yang jika dilakukan bakal memudahkan transaksi di masyarakat dan penyusunan laporan neraca keuangan perusahaan.
Redenominasi akan memangkas 3 digit nilai rupiah dari belakang. Misalnya, dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, atau dari Rp 1.000.000 menjadi Rp 1.000.