Liputan6.com, Jakarta Salah satu target dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan tahun 2020-2024 adalah penyederhanaan nilai rupiah atau redenominasi. Langkah ini dijalankan untuk penciptaan efisiensi perekonomian.
Redenominasi dipercaya akan mempercepat waktu transaksi serta berkurangnya risiko human error. Selain itu, redenominasi juga akan menciptakan efisiensi pencantuman harga barang dan jasa karena sederhananya jumlah dan digit rupiah.
Baca Juga
Lalu apakah Indonesia siap menerapkan redenominasi? Apakah efektif? Dan akankah berhasil
Advertisement
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa Indonesia bisa berhasil menerapkan redenominasi apabila kerja sama sektor fiskal dan moneter seimbang. Selain itu juga harus dengan perencanaan yang matang.
“Saya kira kerja sama sektor moneter dan fiskal itu penting, menurut saya bisa dijalankan sepanjang nilai tukar kita relatif terjaga, dan tahapan-tahapannya dipatuhi. Inflasi harus dijaga pada level yang rendah dan nilai tukar tetap stabil. Jadi tidak boleh ada yang melakukan aksi-aksi untuk membuat nilai tukar menjadi tidak kredibel atau katakanlah depresiasinya terlalu tinggi,” kata Tauhid kepada Liputan6.com, Minggu (19/7/2020).
Ia menyebut untuk saat ini Indonesia belum bisa menerapkan redenominasi, karena keadaan ekonomi masih buruk karena dampak pandemi covid-19. Namun, kata Tauhid ada kemungkinan Indonesia bisa menerapkan redenominasi setelah keadaan perekonomian stabil, serta membutuhkan waktu 10 tahun, yang di dalamnya terdapat sosialisasi kepada masyarakat untuk menerapkan keputusan itu secara optimal.
“Menurut saya kalau dalam kondisi sekarang belum bisa redenominasi, karena pertumbuhan ekonomi kita relatif turun dalam 1-2 tahun terakhir, nilai tukar juga bergejolak masih termasuk dalam negara yang terdapat depresiasi yang agak lumayan besar sampai 15 persen,” ujarnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kemenkeu Gulirkan Kembali Wacana Redenominasi Rupiah
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memotong jumlah nol dalam rupiah atau redenominasi. Penyederhanaaan rupiah ini tersebut akan tertuang melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi).
Langkah redenominasi tersebut merupakan satu dari 19 regulasi dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan tahun 2020-2024. Renstra ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77 tahun 2020.
Urgensi pembentukan RUU Redenominasi tersebut berkaitan dengan penciptaan efisiensi perekonomian, berupa percepatan waktu transaksi serta berkurangnya risiko human error, efisiensi pencantuman harga barang dan jasa karena sederhananya jumlah dan digit rupiah.
"Menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit rupiah," demikian dikutip liputan6.com dari dokumen PMK 77/2020, Jumat (10/7/2020).
Dalam matriks 19 regulasi yang termasuk dalam Renstra Kemenkeu 2020-2024, Kemenkeu menjelaskan bahwa RUU Redenominasi akan berada di bawah tanggung jawab Direktorat Jenderal Pembendaharaan (DJPb) dan akan dibantu dengan Sekretariat Jenderal (Setjen) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai unit terkait.
Lantas, sebenarnya apa redenominasi? Mengapa redenominasi dilakukan dan apakah nominal mata uang Indonesia akan berubah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1?
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai rupiah yang jika dilakukan bakal memudahkan transaksi di masyarakat dan penyusunan laporan neraca keuangan perusahaan.
Redenominasi akan memangkas 3 digit nilai rupiah dari belakang. Misalnya, dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, atau dari Rp 1.000.000 menjadi Rp 1.000.
Advertisement