Liputan6.com, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti menegaskan bahwa pelemahan nilai tukar Rupiah terjadi hari ini tak hanya dirasakan di Indonesia saja. Sebab, pelemahan mata uang juga dialami oleh negara-negara berkembang lainnya karena perkembangan faktor global.
"Ini bukan hanya nilai tukar bukan hanya di Indonesia tapi juga emerging market terus mengalami tekanan," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (20/7).
Dia menambahkan, pelemahan Rupiah dipengaruhi oleh analisa baru soal perkembangan pandemi Covid-19 maupun perekonomian global. Akibat perkiraan yang lebih dalam dan lama ini, investor memilih mengamankan asetnya kembali ke AS.
Advertisement
"Jadi mereka menjauhi kembali instrumen ataupun market yang dianggap akan membuat risiko tinggi sehingga mereka kembali ke AS, kembali lagi ke US Treasury Bond-nya sehingga rupiah dan beberapa mata uang regional itu mengalami tekanan," ungkapnya.
Seperti diketahui, nilai tukar atau kurs Rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta diperkirakan masih akan lanjut terkoreksi di tengah kekhawatiran berlanjutnya dampak ekonomi akibat pandemi.
Pada pukul 09.47 WIB, Rupiah melemah 103 poin atau 0,7 persen menjadi Rp14.806 per USD dari sebelumnya Rp14.703 per USD.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Wabah virus corona COVID-19 tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, namun berdampak pula pada pertumbuhan ekonomi negara. Hal ini berdampak bagi bursa saham dan nilai tukar rupiah.
Minim Sentimen Positif
Analis Bank Mandiri, Rully Arya Wisnubroto mengatakan, sebenarnya pada hari ini masih cenderung minim berita positif baik dari dalam maupun dari global.
"Baik global maupun di dalam negeri, kondisi pandemi masih terus terlihat mengalami kenaikan," ujar Rully dikutip dari Antara.
Menurut Rully, pergerakan Rupiah masih akan dominan dipengaruhi sentimen kekhawatiran gelombang kedua Covid-19.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Jaga Stabilitas Rupiah, BI Tak Perlu Turunkan Suku Bunga Acuan Lagi
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 4 persen. Ini menjadi penurunan suku bunga acuan keempat kalinya di sepanjang 2020 ini.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, BI ke depan tak perlu menurunkan lagi memangkas suku bunga acuan. Itu dilakukan untuk menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah yang terus melemah saat ini.
Josua mengatakan, kemungkinan Bank Indonesia untuk memperkecil suku bunga acuan ke depan jadi semakin sempit, lantaran telah memotong sebanyak 100 basis poin (bps) sebanyak 4 kali pada tahun ini.
Sebagai catatan, penetapan angka suku bunga 4 persen pada bulan ini juga merupakan yang terendah sepanjang sejarah.
"Menurut saya, ruang penurunan suku bunga acuan BI kedepannya semakin terbatas. Mengingat BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 100 bps dari bulan Januari hingga Juli 2020 ini," kata Josua kepada Liputan6.com, Sabtu (18/7/2020).
Rupiah
Penurunan suku bunga acuan BI tersebut juga disebutnya mengindikasikan penurunan effective policy rate Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) terus menyusut. Hal itu dapat berpotensi mempengaruhi daya tarik aset keuangan dalam denominasi rupiah.
Jika bank sentral tetap memangkas BI7DRR di bukan berikutnya, Josua meneruskan, maka nilai tukar rupiah akan semakin terancam. Mengingat saat ini rupiah terus bergerak cenderung melemah di kisaran 14.700-14.800 per dolar AS.
"Oleh sebab itu dalam rangka menjaga stabilitas rupiah, BI perlu mendorong daya tarik investasi di pasar keuangan domestik, dengan mempertahankan suku bunga acuan BI di level saat ini," imbuh Josua.
Advertisement