Liputan6.com, Jakarta Wabah pandemi virus corona (Covid-19) berkepanjangan telah membuat perekonomian dunia semakin melemah. Tak terkecuali di salah satu kota bisnis terbesar dunia, New York, Amerika Serikat (AS), yang tengah didesak untuk memungut pajak lebih besar dari orang-orang terkaya atau miliarder di sana.
Permintaan kencang untuk menambah pungutan pajak bagi para pebisnis dunia yang bermukim di sana terus mengalir. Aksi unjuk rasa pun bermunculan dalam beberapa waktu terakhir.
Baca Juga
Aksi protes dimulai di Madison Square Park, lokasi dimana orang terkaya dunia Jeff Bezos menghabiskan USD 96 juta untuk menciptakan rumah impiannya di Manhattan.
Advertisement
Kelompok kecil tersebut kemudian beranjak ke tengah kota, tepatnya di Kantor Gubernur New York Andre Cuomo, guna melontarkan permintaan yang lebih keras: peras pajak dari yang kaya raya.
Gelaran demonstrasi yang telah berlangsung sejak Jumat pekan lalu ini belum banyak berbuah hasil. Tapi kali ini, demonstran dibantu oleh Alexandria Ocasio-Cortez, anggota parlemen yang bergabung untuk mendesak Cuomo memungut pajak dari para miliarder di negara bagian New York.
"Mereka terus meraup kekayaan dari kota kami, dan tidak berkontribusi secara proporsional. Anda ingin punya apartemen di sini. Anda bilang ingin jadi bagian dari kota terbesar di negara ini (Amerika Serikat). Jadi Anda harus memberi dukungan pada kota," seru salah seorang demonstran Molly Glenn, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (22/7/2020).
Bloomberg mencatat, setidaknya ada sekitar 100 miliarder yang terdeteksi bermukim di wilayah New York. Mayoritas punya beberapa rumah di sana, namun tidak ada jaminan mereka akan bertahan jika pemerintah setempat mengenakan pajak kekayaan.
Seperti dikatakan Carl Icahn, salah satu ikon Wall Street yang punya kekayaan USD 18,3 miliar. Pada September lalu ia berencana memindahkan rumah dan bisnisnya ke Florida untuk menghindari pajak yang lebih tinggi di New York.
Pernyataan itu keluar sebelum Ocasio-Cortez mendukung kebijakan untuk memungut pajak dari para miliarder guna memberikan dana talangan bagi para warga New York yang miskin.
"Sudah saatnya berhenti melindungi para miliarder. Sekarang adalah waktu untuk bekerja bagi keluarga yang bekerja," tegas Ocasio-Cortez.
Gubernur Cuomo sebelumnya menentang ide kenaikan pajak bagi orang kaya. Namun desakan terus tumbuh, sebagian dipicu oleh dampak pandemi corona pada kota. Menurut dia, pengenaan pajak tersebut dapat mengusir orang-orang kaya di New York.
Ucapan itu didukung oleh Michael Novogratz, seorang demokrat yang memperingatkan desakan atas kenaikan pajak tersebut bisa bersifat kontraproduktif.
Dia menyatakan, akan berbahaya jika mereka yang sudah membayar sebagian besar pajak New York kemudian pindah negara bagian dengan pajak lebih rendah, terutama ketika pandemi mengubah prioritas.
"Tak ada yang tahu dalam situasi ini orang bakal membuat keputusan seperti apa. Kita ingin melakukan kemungkinan terbaik untuk mempertahankan orang tetap tinggal di New York daripada mendorong mereka pindah ke tempat dengan pungutan pajak rendah," ujar dia.
Gara-Gara Corona, Miliarder Ini Kangen Naik Jet Pribadi
Wabah pandemi Covid-19 berkepanjangan telah membuat banyak orang hilang rasa sabar untuk menunggu. Tak terkecuali para miliarder terkaya dunia, yang banyak pergerakannya harus tertahan saat ini.
Seperti diungkapkan salah seorang investor miliarder Wall Street, yang mengeluh karena dipaksa untuk mempelajari aplikasi Zoom selama masa pandemi.
Seorang tokoh besar yang tak mau disebutkan namanya ini terdaftar sebagai salah seorang miliarder terkaya Amerika Serikat (AS) versi Bloomberg. Dia berbicara kekhawatiran terbesarnya selama wabah virus corona, yakni tak bisa ke mana-mana dengan jet pribadinya.
"Sekarang kalau Anda ada di bus dan mulai bersin, semua orang bakal kesal," keluhnya saat berbincang dengan Bloomberg, seperti dikutip New York Post, Sabtu (18/7/2020). Dia kemudian meralat bahwa dirinya tidak naik bus.
Tokoh miliarder anonim ini kemudian bercerita, dirinya bahkan harus menyetir sendiri untuk ke toko dari kampung halamannya yang ada di pinggiran New York. Itu dilakukannya lantaran tak ada staf yang mendampinginya selama pandemi.
Dia juga meratapi nasib harus bekerja dari jarak jauh tanpa didampingi 5 orang stafnya. Meski kemudian pada akhirnya ia mulai terbiasa menggunakan perangkat lunak seperti Zoom.
Segala pernyataannya ini berbanding terbalik dengan apa yang pernah ia lontarkan di masa awal pandemi. Dia sempat merasa tak khawatir dengan adanya virus corona.
"Saya bisa melakukan tes. Saya punya koneksi ke dewan rumah sakit terbaik. Saya hanya akan meminta bantuan untuk orang-orang terdekat," ungkap dia beberapa waktu lalu.
Tapi ucapannya berubah sejak 22 Mei 2020, ketika angka pengangguran mencapai titik tertinggi di Amerika Serikat sejak era Great Depression pada 1929-1939.
"Semuanya jadi lebih besar. Saya telah mengucapkan kata yang salah," ujar dia.
Namun, ia juga tak mau meratapi wabah yang telah merumahkan 30 persen tenaga kerja di Negeri Paman Sam. Di sisi lain, ia menyoroti ada sejumlah orang yang bisa memanfaatkan situasi pandemi untuk kemudian memperkaya dirinya.
"Apakah perang itu adil? Apakah orang-orang mati karena perang? Ya. Kemudian ada virus yang bersifat menular. Lalu alam berkata, saya mau memilihmu. Apakah itu adil? Apakah itu tepat? Tidak, tapi itulah kehidupan," tandasnya.
Â
Advertisement