Liputan6.com, Jakarta - Memasuki awal kuartal III 2020, Kementerian Keuangan mengumunkan rencana strategis periode 2020-2024 melalui PMK 77/ 2020 yang merupakan turunan dari Peraturan Presiden nomor 18/2020 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN).
PMK ini kembali menghidupkan rencana penyederhanaan tarif cukai tembakau sebagai upaya mengurai masalah prevalensi perokok muda dan sarana untuk reformasi fiskal.
Baca Juga
Hal ini mendapat keberatan dari sebagian pelaku di Industri Hasil Tembakau (IHT), khususnya yang tergolong pelaku industri kecil dan menengah.
Advertisement
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Surabaya (GAPERO) Sulami Bahar mengatakan sejak aturan penyederhanaan tarif cukai yang dibarengi dengan penggabungan SKM dan SPM diberlakukan akhir 2017 silam, belum terdapat hasil signifikan akan penurunan prevalensi perokok muda yang saat itu menjadi salah satu tujuan dilakukannya penurunan tarif cukai dari 12 layer ke 10 layer.
Alih-alih menurunkan prevalensi perokok muda, yang terjadi justru penurunan jumlah pabrikantembakau di skala kecil-menengah.
Sulami menyatakan, penyederhanaan tarif cukai akan membuat pabrikan kecil dan menengah semakin tergerus keberadaannya.
"Kalau terus dijalankan, perusahaan rokok kecil di daerah harus membayar cukai sama besarnya dengan yangdibayar oleh perusahaan rokok besar, dari luar negeri pula. Pabrik-pabrik rokok kecil di daerahbisa mati. Nanti kalau jadi seperti itu, akhirnya harga rokok menjadi sangat melambung dan daya beli konsumen tidak menutupi, akhirnya larinya ke rokok yang murah atau ilegal,” ungkap dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (23/7/2020).
Sebelumnya, Sulami juga mempertanyakan pandangan pemerintah terhadap IHT dalam jangkapanjang. GAPERO mempertanyakan hal ini atas dasar rasa herannya melihat tren kebijakan yangterus menghukum sisi produsen, alih-alih membagikan fungsi kontrol kepada semua pihak.
Pada Juni 2020 lalu, lembaga riset independen Forum for Socio Economic Studies bahkan telah menghitung jika aturan simplikasi tarif kembali diterapkan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dampak Negatif
Menurut Ketua Tim Riset FOSES Putra Perdana, penelitian menunjukkan bahwa rencana penyederhanaan struktur tarif cukai memiliki dampak negatif terhadap industri dan tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan dari simulasi penyederhanaan struktur tarif cukai model estimasi simplifikasi dari 10 layer ke 6 layer.
Hasilnya, setiap terjadi pengurangan 1 layer dari struktur tarif CHT akan berpotensi pada turunnya volumeproduksi rokok SKM sebesar 7 persen, SKT sebesar 9 persen dan SPM sebesar 6 persen.
“Simulasi jika penyederhanaan tarif CHT terus dilanjutkan, akan ada dampak pada tenaga kerjadan volume produksi rokok dengan arah koefisien negatif. Artinya, ada indikasi penyederhanaantarif CHT dari 10 layer menjadi 6 layer berpotensi menurunkan tenaga kerja IHT sebesar 18,4 persen dan menurunkan volume produksi rokok sebesar 3,6 persen," kata Putra.
"Jikaditelusuri dariimplementasi kebijakannya, kami melihat implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) selam periode 2015-2018 selalu memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja disektor IHT. PMK yang terbit tahun 2016, 2017 dan 2018 secara berturut-turut terindikasiberkontribusi pada penurunan jumlah tenaga kerja IHT sebesar 7,77 persen, 4,26 persen dan4,88 persen,” ungkap dia.
Lebih lanjut, kondisi pandemi yang tengah berlangsung di seluruh belahan dunia juga belummenunjukkan adanya perbaikan. Malahan, dampaknya diperkirakan akan terus berlangsunghingga beberapa tahun ke depan. Seluruh industri telah terancam keberlangsungannya, tidakterkecuali IHT.
Advertisement
Penjualan Rokok Turun
Sementara itu, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menuturkan pihaknya memprediksi akan ada penurunan signifikan akibat merosotnya penjualan rokok di tengah pandemi COVID-19 yang belum menunjukkan tanda perbaikankondisi.
Pihaknya mengestimasi penerimaan negara dari cukai cenderung tetap namunpenurunan justru terjadi di ranah kemampuan produksi pabrikan rokok. Hal ini sebagian besardipengaruhi oleh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah yangmenjadi sentra tembakau, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
“Pada tahun 2020 ini,estimasi penerimaan negara dari cukai akan sama dengan tahun 2019 atau sekitar Rp 165 triliun,sementara penurunan volume produksi dari IHT justru akan turun 13-23 persen,” tutur Henry.