Sukses

Defisit RAPBN 2021 Melebar jadi 5,2 Persen

Sebelumnya dalam catatan kesimpulan rapat pemerintah dengan DPR mengindikasikan defisit pada 2021 yang bisa dinaikkan hingga 4,7 persen PDB.

Liputan6.com, Jakarta - Ketidakpastian yang disebabkan pandemi Covid-19 membuat pemerintah harus terus melakukan penyesuaian dalam setiap kebijakan, baik dari segi penanganan, sekaligus pemulihannya. Akibatnya, pemerintah terus menggodok berbagai skema pemulihan dalam Rancangan postur APBN 2021

"Seperti diketahui bahwa untuk RAPBN 2021 ini pembahasan awal dengan DPR sudah dilakukan dan sampai dengan sebelum DPR melakukan reses minggu lalu sudah ada beberapa kesepakatan kesepakatan yang memberikan indikasi bagaimana desain RAPBN 2021, terutama menyangkut postur dari APBN," ujar Sri Mulyani usai Rapat Terbatas mengenai Rancangan Postur APBN 2021, Selasa (28/7/2020).

Dalam rapat tersebut, Presiden Joko Widodo menyepakati pelebaran defisit 5,2 persen. Sebelumnya dalam catatan kesimpulan rapat dengan DPR, juga mengindikasikan defisit pada 2021 yang bisa dinaikkan hingga 4,7 persen PDB.

"Di dalam sidang kabinet pagi hari ini, bapak presiden telah memutuskan kita akan memperlebar defisit menjadi 5,2 persen dari PDB. Jadi lebih tinggi lagi dari desain awal yang sudah disepakati, dan ada catatan dari DPR lebih tinggi dari 4,7 persen,” ujar Sri Mulyani.

Dengan defisit di 5,2 persen dari PDB tahun 2021, Menkeu menyebutkan Indonesia akan memiliki cadangan belanja sebesar Rp 179 triliun. Dimana Presiden akan menetapkan prioritas-prioritas belanjanya untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional tahun depan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Banggar DPR dan Pemerintah Sepakati Asumsi Makro RAPBN 2021

Badan Anggaran (Banggar) DPR RI bersama pemerintah menyepakati asumsi makro pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021. Kesepakatan ini berdasarkan kesamaan sikap dengan yang sudah ditetapkan oleh Komisi XI dan Komisi VII bersama Pemerintah, yang mengedepankan kebijakan ekspansif dan konsolidatif.

“Membuat proyeksi (asumsi makro) di tengah ketidakpastian itu pasti sulit, karena kita tidak tahu kapan Covid-19 berakhir. Saya mengerti betul ketika Pemerintah menyampaikan postur makro fiskal 2021 yang kebijakannya ekspansif, konsolidatif, untuk mendukung recovery soal ekonomi menuju kondisi normal,” kata Ketua Banggar DPR, Said Abdullah di Jakarta, Rabu (1/7/2020)

Namun, sejumlah anggota banggar yang juga turut memberikan catatan dalam penetapan asumsi makro tersebut. Anggota Banggar yang juga Anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini menekankan pada pentingnya peningkatan anggaran surveillance seperti anggaran kesehatan mengingat masih akan berlanjutnya pandemi selama vaksin belum ditemukan.

Menurutnya, anggaran kesehatan saat ini masih terlalu sedikit dan masih terkendala dengan keterlambatan pencairan sehingga serapannya masih rendah.

“Mengingat vaksin pandemi belum ditemukan, tahun 2021 masih akan kita hadapi dampak dan pemulihan Covid-19, karena itu anggaran sektor kesehatan harus diperhatikan betul apalagi kita tidak mau menghadapi gelombang kedua, makanya anggaran surveilance harus ditingkatkan, dana sektor kesehatan harus ditingkatkan," ungkap politisi Partai Golkar tersebut.

Terkait lifting minyak, Anggota Komisi VII DPR RI Mercy Chriesty Barends (PDI-Perjuangan) mewanti-wanti bahwa asumsi lifting yang ditetapkan akan berpengaruh pada defisit neraca perdagangan, karena masih belum sesuai targetnya angka lifting pada semester pertama 2021.

“Kalau kami dari Komisi VII, bagaimana dengan restrukturisasi yang baru ini, bisa mempertahankan ketahanan energi nasional. Kami cukup tercengang dari tingkat lifting yang ada saat ini sampai semester pertama, baru mencapai setengah dari lifting yang kita tetapkan, jadi dari postur lifting hari ini aja defisit di neraca perdagangan ekspor-impor akan besar sekali," jelas Mercy.

3 dari 3 halaman

Beban Bunga

Di sisi lain, Anggota Komisi XI DPR RI Bertu Melas mengusulkan Pemerintah untuk membatasi bunga maksimum terkait beban utang terhadap anggaran. Pasalnya, porsi belanja untuk bunga utang sepanjang 2020 akan berada pada level 17 persen terhadap pengeluaran Pemerintah. Angka tersebut naik dibandingkan rata-rata rasio selama ini, yakni sekitar 12 persen.

“Pembiayaan ini total (defisitnya) mencapai Rp 1.039,2 triliun. Saya meminta kepada Pemerintah agar dalam berutang ini hati-hati, karena utang ini akan membebani anak cucu kita. Mengenai bunga utang juga perlu melihat tetangga negara-negara ASEAN, kita juga harus kerja keras menyamai bunga-bunga negara lain, jangan kita yang paling besar terus,” papar politisi Fraksi PKB tersebut.

Selanjutya, terhadap asumsi makro yang sudah disepakati bersama antara Banggar DPR dan Panja Pemerintah yang diwakili oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Luky Alfirman, nantinya akan tercermin dalam Nota Keuangan yang akan dibacakan dalam Pidato Nota Keuangan RAPBN 2021 pada 16 Agustus mendatang.

“Oleh karenanya, apa yang disampaikan oleh Anggota Banggar hari ini saya ingin responnya tercermin dalam nota keuangan yang dibacakan pada 16 Agustus nanti oleh Presiden. Terhadap asumsi makro tadi sudah kita sahkan bersama, kemudian kebijakan defisit serta makro fiskal kita setujui, dan kita berharap dalam nota keuangan nanti betul-betul tergambar keinginan para Anggota Banggar," tutup Said.