Sukses

Tak Asal-asalan, Ini Kriteria Bank yang Bakal Dibekukan LPS

LPS tidak asal-asalan dalam membekukan suatu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau bank umum.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Klaim dan Restitusi Bank Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Suwandi mengatakan, LPS tidak asal-asalan dalam membekukan suatu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau bank umum. Setiap bank yang diindikasi bermasalah diteliti dengan seksama sebelum diputuskan untuk diselamatkan atau tidak.

"Kalau kita lihat lebih dalam lagi, kita melihat dari kinerja keuangannya sebelum bank dilikuidasi. Maka sebenarnya dari sisi teori kebangkrutan likuidasi atau intervensi itu sesuatu proses nggak tiba-tiba. Tidak ujug-ujug," ujarnya dalam diskusi online, Jakarta, Senin (4/8).

Adapun proses kegagalan bank dimulai dengan early impairment atau penurunan nilai. Kemudian terjadi pemburukan kinerja, lalu ditemukan adanya permasalahan cash flow serta diikuti gagal memenuhi kewajiban.

"Early impairment dulu, ada pemburukan kinerja, lalu permasalahan cash flow, gagal memenuhi kewajiban, kemudian akhirnya insolvensi karena kewajibannya jauh lebih kecil dari aset modal tergerus, baru bankruptcy (bangkrut). Ini konteks yang alamiah," kata Suwandi.

Pemicu suatu bank gagal di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh kecurangan atau fraud yang dilakukan oleh Komisaris, Direksi atau pemilik bank. Umumnya fraud yang dilakukan berupa kredit fiktif dan penyalahgunaan simpanan.

"Ada fraud misalnya kredit fiktif dan penyalahgunaan simpanan. Salah satu cara yang dilakukan menyelamatkan biasanya penambahan modal. Tapi ini tidak bisa jangka panjang. Ini poin penting, ini hampir kejadian diseluruh BPR yang kami tangani," katanya.

"Jadi jarang sekali BPR tutup, hampir tidak pernah yang kita temukan, bangkrut setelah bank itu kalah bersaing dengan bank umum di sekitarnya. Bukan seperti itu ternyata. Jadi sebagian besar satu dua yang memang bukan fraud tapi sudah lama tidak operasional karena dispute misalnya. Tapi diluar itu adalah adanya fraud yang dilakukan komisaris, direksi dan pemilik bank itu," katanya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Kegagalan Bank Dilihat dari Laporan Keuangan

Suwandi melanjutkan, laporan keuangan menjadi alat LPS menentukan kinerja bank tergolong baik atau bermasalah. Meski demikian, hal tersebut sebenarnya kurang efektif karena tidak menggambarkan kondisi terkini tetapi menggambarkan kondisi yang terjadi pada 1 atau 2 tahun sebelumnya.

"Poinnya mungkin ada 2. Pertama kita agak berbeda dengan negara lain penyebab kegagalannya karena kita mayoritas fraud dan itu tidak bisa diprediksi karena pakai laporan keuangan. Laporan keuangan tidak bisa memprediksi apa yang akan dilakukan tetapi hanya memperlihatkan apa yang terjadi di masa lalu. Yang kedua mungkin harus bergeser dari tata kelola bukan hanya laporan keuangan," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

3 dari 4 halaman

LPS Tutup 103 Bank Sejak 2005

Direktur Eksekutif Klaim dan Restitusi Bank Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Suwandi mengatakan, sejak 2005 pihaknya telah membekukan 103 bank bermasalah di Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari 102 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan 1 bank umum.

"Sejak September 2005 sampai saat ini kita sudah menutup bank itu 102 BPR/BPRS dan 1 bank umum. Berarti kurang lebih 7 sampai 8 bank setiap tahunnya," ujar Suwandi dalam diskusi online, Jakarta, Selasa (4/8/2020).

Suwandi mengatakan, setiap dua bulan sekali LPS mendapat laporan adanya BPR yang bermasalah. Hingga kini di Indonesia ada sebanyak 1.810 BPR dan jumlahnya terus menurun akibat adanya likuidasi.

"Mungkin 2 bulan sekali kita mendapat pasien BPR/BPRS yang gagal. Posisi saat ini jumlah BPR kita ada 1.810 BPR. Setiap dua bulan ada yang tutup bahkan pernah pada tahun tertentu kita dapat pasien gagal tiap bulan," katanya.

 

4 dari 4 halaman

Terus Lakukan Kajian

LPS pun terus melakukan kajian terhadap fenomena tersebut. Setiap bank yang dilaporkan memiliki masalah berat rata-rata menghadapi masalah fraud atau kecurangan yang dilakukan oleh komisaris ataupun direksi.

"Kita melakukan analisis untuk mengambil opsi restitusi yang akan dilakukan apakah menyelamatkan atau tidak. Dan keputusan yang diambil seluruhnya tidak menyelamatkan karena biaya nya yang lebih murah kalau tidak diselamatkan daripada diselamatkan," paparnya.

Merdeka.com