Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto mengatakan, banyak Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bangkrut karena tidak melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik atau Good Coorporate Governance (GCG). GCG pun dinilai baru hanya sekedar ucapan.
"Kondisi real GCG, pelaksanaannya masih sebatas mudah diucap tapi masih banyak bank yang collaps karena pengurus bank tidak melaksanakan GCG dengan penuh tanggungjawab," ujar Joko dalam diskusi online, Jakarta, Senin (4/8).
Pengurus bank, kata Joko, sering kali mencampuradukkan urusan pribadi dengan pengelolaan bank. Hal-hal ini umumnya menyeret BPR menjadi bank bermasalah. Sehingga tak heran dalam waktu 15 tahun ada 102 BPR yang ditutup oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Advertisement
"Umumnya, persoalan antar pengurus bank. Kemudian ada juga conflic of interest antara pribadi yang dicampuradukkan dengan tatakelola secara tidak profesional. Kemudian rendahnya pemahaman tentang pengelolaan resiko," paparnya.
Kepentingan pribadi juga menimbulkan fraud atau kecurangan yang awalnya tidak terlihat namun lama kelamaan tergambar dalam laporan keuangan.
"Jadi ini yang menyebabkan bahwa kinerja bank akan menurun dan pada akhirnya ada hal lain yang terjadi ditengah kinerja yang menurun justru disitu adanya fraud," kata Joko.
Joko menambahkan, ada 5 prinsip utama yang harus dilakukan dalam menjalankan GCG yaitu pertama transparansi, akuntabilitas, responsibility, independen dan fairness. "Dan ini memang harus pengurus yang memastikan didalam tata kelola ini berjalan secara konsisten dan bertanggungjawab," katanya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tantangan Penerapan GCG di Era Digital
Joko melanjutkan, di era digital saat ini BPR juga menghadapi tantangan dan resiko agar mampu terus berkembang dan bersaing dengan bank umum. Dengan demikian, perlu adanya penyesuaian agar bisa berjalan melayani masyarakat dengan baik.
"BPR perlu mempersiapkan diri terkait munculnya resiko baru seperti cyber security dan online digital fraud. Ini tantangan ke depan. Kemudian, kompetisi dan tren industri untuk menurunkan biaya operasional juga penggunaan tehnologi yang semakin gencar untuk memberikan service yang lebih baik, cepat dan murah. Kemudian juga kebutuhan mengubah value chain dan modernisasi aktivitas organisasi. Ini merupakan tantangan bagi BPR," tandasnya.
Reporter:Â Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement