Liputan6.com, Jakarta - Sejak tahun lalu pemerintah telah menyiapkan rencana pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar. Pemerintah mengklaim penerapan kebijakan B30 dinilai akan meningkatkan kualitas lingkungan karena beralih menggunakan bahan dasar tumbuh-tumbuhan. Penggunaan B30 juga ramah terhadap mesin kendaraan dan bisa menekan emisi yang dilepaskan.
Faktanya, penggunaan B30 sebagai bahan bakar malah bisa melepaskan emisi lebih banyak ketimbang penggunaan bahan bakar fosil. Tingginya emisi terjadi pada saat pengelolaan kelapa sawit menjadi bahan bakar.
Baca Juga
"Ada beberapa skenario yang banyak bikin B30 ini malah tidak ramah lingkungan," kata Manager Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti dalam Media Brefing bertajuk Suntikan Dana ke Perusahaan Bukan Solusi untuk Biodiesel, Jakarta, Selasa (11/8).
Advertisement
Skenario pertama pada penggunaan lahan untuk kelapa sawit. Jika lahan yang digunakan kebun baru, maka jenis lahan bisa menyebabkan banyaknya emisi yang bakal dihasilkan, seperti penggunaan lahan gambut dan merusak hutan. Sebab jika terjadi kebakaran hutan akan menghasilkan emisi yang tinggi.
"Resiko lebih tinggi kalau buka di lahan gambut dan hutan. ini bisa menimbulkan emisi yang tinggi," kata Ricky.
Skenario kedua dari penggunaan kendaraan sebagai alat transportasi dari lokasi perkebunan menuju pabrik pengolahan. Sehingga untuk menekan emisi yang dikeluarkan kendaraan diperlukan jalan usaha tani agar bisa memangkas jarak tempuh.
Potensi merusak lingkungan lainnya yakni limbah yang dihasilkan dari pengelolaan kelapa sawit. Di Pabrik kelapa sakit terdapat bahan berbahaya bernama pome atau limbah cair kelapa sawit. Jika limbah ini tidak diolah menggunakan metan, maka emisi yang dihasilkan pabrik akan tinggi.
"Sehingga ini bisa menjadikan biodiesel ini menghasilkan emisi tinggi," kata dia.
Untuk itu kata Ricky, pemerintah harus melakukan perhitungan detil dalam membuat kebijakan. Sejauh ini dia menilai pemerintah hanya fokus pada hasil akhir produk seperti B30.
"Kalau cuma hitung di end produk ya memang aman, tapi ini harus dilihat dari hulu dan hilir. Emisi ini juga besar bukan dari kendaraannya," kata dia mengakhiri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Â
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tingginya Harga FAME Hambat Realisasi Program B30 hingga 2021
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, saat ini terdapat sejumlah kendala dalam penerapan program Biodiesel 30 persen (B30) yang tengah digenjot pada 2020 ini.
Salah satunya lantaran harga Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan campuran B30 yang melejit naik. Sementara harga minyak bumi sempat turun beberapa waktu lalu.
Menurut dia, selisih harga tinggi antara solar dan FAME sebagai campuran B30 bisa membuat realisasi program tersebut terkendala hingga 2021 mendatang.
"Sehingga selisih antara harga FAME dengan harga solarnya itu jadi lebih besar. Inilah yang membuat bisnis FAME atau bahan bakar nabati agak terganggu tahun ini, dan juga mungkin tahun depan," kata Febrio dalam sesi teleconference, Kamis (6/8/2020).
Febrio menyatakan, pemerintah saat ini tengah mengkaji bagaimana mengatur mekanisme terkait hal tersebut untuk rentang waktu 2020-2021. Itu dilakukan untuk memudahkan rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam program B30 pada tahun ini, yakni bentuk hilirisasi pengolahan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) guna mendapatkan nilai tambah lebih besar daripada mengekspor CPO dalam bentuk raw material.Â
Advertisement
Dorong Hilirisasi
Terlebih, saat ini sudah ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit.
Kebijakan tersebut mendorong hilirisasi dengan mengenakan pungutan lebih besar kepada ekspor raw material CPO ketimbang produk turunan CPO lainnya.
"Jadi kalau industri itu ingin mengekspor CPO alias raw material, dimana produknya belum terlalu hilir jika dibandingkan dengan produk turunan CPO seperti misalnya RBD (refined, bleached, deodorized), maka harga pungutan ekspornya memang lebih mahal," tuturnya.
"Karena sebenarnya hal itu konteksnya adalah untuk mendorong hilirisasi tersebut," ujar Febrio.Â