Sukses

98 Persen UMKM Indonesia Masih Berskala Usaha Mikro

Situasi pandemi covid-19 dimanfaarkan Pemerintah untuk mendorong UMKM naik kelas.

Liputan6.com, Jakarta - Meskipun dalam situasi pandemi covid-19, Pemerintah memanfaatkan kondisi itu untuk mendorong UMKM naik kelas supaya struktur komposisi UMKM lebih banyak di usaha menengah dengan pendekatan low touch dan high touch.

“Saat ini bentuk komposisi UMKM Indonesia itu bentuknya piramida, sangat besar jumlahnya di kelompok usaha mikro dengan jumlah 63,3 juta atau 98 persen. Usaha kecil 783 ribu atau 1,28 persen, usaha menengah itu hanya 60 ribu atau 0,09 persen. Sehingga strukturnya sangat besar di usaha mikro,” kata Deputi Produksi dan Pemasaran Kemenkop UKM Victoria Simanungkalit,  dalam webinar Membangun UMKM Berkelanjutan, Selasa (11/8/2020).

Victoria menjelaskan, dengan adanya usaha mikro, kecil dan menengah, maka pendekatannya pun tentu berbeda. Untuk usaha mikro dan kecil dilakukan pendekatan low touch.

Yakni lebih banyak diarahkan memberikan konsultasi, pendampingan dan pendaftaran usaha agar mereka lebih informal. Selain itu, Kementerian Koperasi dan UKM juga memberikan pendekatan inkubasi bisnis dan sharing mindset kewirausahaan.

“Supaya mereka berbisnis itu tidak semata-mata karena kepepet, tapi mereka memang ingin punya mimpi untuk mengembangkan bisnisnya secara berkelanjutan,” ujarnya.

Pendekatan berikutnya membuat packaging mereka menarik dan brand bersama, karena mereka sangat kecil-kecil, jika dibiarkan pelaku usaha kecil bertanding di pasar mereka akan ketinggalan. Sehingga kita dorong mereka mempunyai brand Bersama.

Kemudian pendekatan lainnya mengkampanyekan atau menunjukkan kisah-kisah sukses dari pengusaha-pengusaha mikro yang naik kelas, membuat konten-konten tutorial dan best praktis bisnis UMKM yang populer termasuk modul manajemen keuangan operasional, pengembangan pemasarannya, dan pengembangan SDM nya.

“Kita lebih memfokuskan usaha kecil kepada permodalan sekedar modal kerja agar mereka bisa menggerakkan ekonominya, untuk tetap eksis,” ujarnya,

Sementara untuk usaha menengah akan didorong menjadi usaha besar, dengan pendekatan high touch seperti digitalisasi bisnis modelnya, pemasarannya, dan membantu mereka memperluas pasarnya dengan membuka kanal-kanal distribusi.

“Ini perlu kita kembangkan dan meng scaling up mereka menjadi UMKM yang go internasional, dan kita mendorong pendamping-pendamping, jadi di dua kelompok ini memang kita memberikan pendampingan yang berbeda,” ujarnya.

Menurutnya kelompok usaha menengah yang high touch tidak cukup hanya membutuhkan modal kerja, melainkan perlu dikembangkan sisin permodalan dan investasinya agar mereka mampu mengembangkan teknologi dan pasar.   

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

72 Persen UMKM di Jabodetabek Masih Belum Melek Teknologi

Survey Katadata Insight Center (KIC) mengatakan sebanyak 72 persen Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Jabodetabek per Juni 2020 mencatat omzet di bawah Rp 500 juta per tahun.

Direktur Riset Katadata Insight Center (KIC) Dr. Mulya Amri mengatakan 43 persen diantaranya omzet usaha mikro bahkan di bawah Rp 100 juta.

“Dari jenis produk usahanya 50 persen lebih adalah eceran, seperti sembako, pulsa, makanan dan minuman,” kata Mulya dalam seminar virtual Jaga UMKM Indonesia, Selasa (11/8/2020).

Sementara dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) yang mereka pekerjakan, hampir 90 persen itu karyawannya dibawah 10 orang, 14 persen tidak punya karyawan sama sekali, dan 73 persen diantaranya hanya mempekerjakan 1-10 karyawan saja.

Lalu untuk jangkauan pasar sebanyak 81 persen hanya berjualan di lingkungan sekitar. Namun mereka juga ada yang ke skala besar kebanyakan 67 persen di dalam kota dan skalanya lokal, seperti usaha rumahan, pinggir jalan, dan pasar.

Kemudian target dan cara meraih konsumennya, mereka kebanyakan masyarakat langsung. Ada juga yang menjual produknya ke UMKM lain bahkan ke industri atau pabrik perusahaan besar.

“Dari sini kita melihat ada cukup banyak kesempatan memperluas pembeli dari produk UMKM,” ujarnya.

3 dari 3 halaman

Banyak Jualan Offline

Kebanyakan dari UMKM tersebut masih belum melek teknologi atau menjual produknya secara offline melalui toko sendiri, yakni sebesar 66,5 persen. Sementara UMKM yang menggunakan media sosial untuk menjajakan produknya baru 62,1 persen, dan 26,2 persen lainnya menjual di marketplace.

“Kita melihat ada gape yang tinggi yang memasarkan di e-commerce dan medsos,” ujarnya.

Lanjutnya, jika dilihat kondisi UMKM sebelum pandemi, 93 persen menyatakan usahanya dalam kondisi baik. Namun setelah pandemi, hanya 14 persen yang menyatakan hal serupa. Dikarenakan 56,8 persen menyatakan kondisinya buruk setelah pandemi.

Hal tersebut ditunjukkan dengan omzet pelaku UMKM yang hampir semua menyatakan omsetnya menurun lebih dari 90 persen, 31 persen bilang omzetnya turun 30 persen, dan 64 persen bilang lebih dari 30 persen omzetnya turun.

“Walaupun kita lihat ada juga yang meningkat, tapi kebanyakan yang menurun.Sebagaimana yang kita lihat kondisi usahanya banyak yang negatif karena  covid-19 ini, 93 persen menyatakan mereka terdampak negatif, dan 59 persen  menyebut dampaknya positif tergantung jenis usahanya,”ujarna.

Ternyata strategi yang digunakan oleh UMKM yang masih bertahan adalah efisiensi dalam hal produksi, dengan mengurangi produksinya baik produk barang dan jasanya.

 “SDM baik jumlah karyawan dan jam kerja sebanyak  50 persen mereka sudah mengurangi jumlah pekerjanya dan jam kerja. Ini tentunya menjadi perhatian kita banyak dari rekan kita yang penghasilannya berat,” pungkasnya.