Sukses

Investasi Indonesia Keok dari Vietnam, 4 Faktor Ini Biang Keroknya

Regulasi yang tumpang tindih mengakibatkan proses perizinan investasi berusaha menjadi berbelit-belit.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ( BKPM) Bahllil Lahadalia angkat suara penyebab sektor investasi Indonesia yang kalah dibandikan dengan Vietnam. Menurut dia, setidaknya ada empat faktor yang menjadi penghambat bagi pengembangan sektor investasi di Indonesia.

Pertama, regulasi yang tumpang tindih mengakibatkan proses perizinan berusaha menjadi berbelit-belit. Sehingga diperlukan waktu yang panjang bagi investor untuk menyelesaikan proses perizinan berusaha.

"Birokrasi di kita minta ampun. Aturan regulasi kita tumpang tindih, antara pemerintah pusat dan daerah berbeda aturannya," jelas dia dalam webinar di Jakarta, Rabu (12/8).

Beruntung, Lanjut Bahlil, pihak telah mampu untuk mengatasi 'hantu berdasi' yang kerap menyulitkan para investor dalam mengurus perizinan berusaha."Di kita ada hantu berdasi yang kerap memainkan regulasi, tapi sudah bisa kita atasi," paparnya.

Kedua, kuatnya ego sektoral antar kementerian/lembaga terkait. Hal itu dianggap mengakibatkan lahirnya kebijakan yang tidak seragam yang tentu akan menyulitkan investor dalam mengurus perizinan.

"Seharusnya kita cukup satu pintu. Agar proses perizinan menjadi lebih mudah dna menghindari ego sektoral," imbuh dia.

Ketiga, harga tanah kawasan industri di Indonesia termasuk tinggi dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. BKPM mencatat rata-rata harga tanah di Indonesia dibanderol USD 225 atau Rp 3,17 juta per meter persegi.

Sementara di Thailand tanah kawasan industri di hargai sebesar Rp 3,03 juta per meter persegi. Bahkan, Vietnam harga tanahnya dijual Rp 1,27 juta per meter persegi.

"Maka, kawasan kita bukan kawasan industri. Akan tetapi, kawasan industri tanah. Karena mereka bukan menyiapkan fasilitas tapi udah ambil untung dari tanah," tegasnya.

Terakhir, upah buruh di Indonesia terlampau mahal. Hal itu mengakibatkan investor lebih memilih negara Asia Tenggara lainnya sebagai tempat berusaha. Data BKPM mencatat upah buruh di Indonesia rata-rata mencapai Rp 3,93 juta per bulan. Sementara rata-rata upah buruh di Malaysia sebesar Rp 3,89 juta. Sedangkan Vietnam, hanya membanderol upah buruhnya Rp 2,64 juta.

"Upah kita paling tinggi. Jadi, ini kondisi tidak terlalu baik bagi kita dalam melakukan persaingan untuk mengembangkan investasi," tutupnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Negara ASEAN Berlomba Beri Insentif Demi Tarik Investasi, Bagaimana dengan RI?

Insentif fiskal merupakan salah satu instrumen yang digunakan sejumlah negara untuk menarik investasi. Itu sebabnya, di tengah tren penurunan realisasi investasi global akibat pandemi COVID-19, pemberian insentif fiskal masih perlu dilakukan dan bahkan ditingkatkan agar dapat bersaing dengan negara-negara lain.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan, meskipun pemberian insentif fiskal agak bertolak belakang dengan upaya pemerintah untuk melebarkan basis pajak dan meningkatkan rasio perpajakan alias tax ratio, namun hal ini harus dilakukan untuk bisa bersaing dengan negara berkembang lain dalam menarik investasi ke Indonesia.

Pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa Indonesia saat ini tengah berkompetisi dengan negara-negara berkembang khususnya dalam konteks menarik investasi.

"Investasi yang membuat perekonomian bergerak dan menghasilkan lapangan kerja baru," ujar Febrio, dikutip Selasa (4/8/2020).

Tak bisa dipungkiri tax ratio berpotensi menurun akibat pemberian insentif fiskal dalam rangka menarik investasi. Meski demikian, pemberian insentif fiskal akan mendorong masuknya investasi yang dapat membawa lapangan pekerjaan baru yang pada gilirannya akan meningkatkan basis pajak dan tax ratio dalam jangka panjang.

Vietnam, misalnya, memberikan insentif perpajakan yang sangat agresif. Begitu pula dengan negara di Asia Tenggara lainnya seperti Thailand dan Filipina.

Banyak negara berlomba-lomba memberikan insentif fiskal sebagai pemanis untuk menarik investor asing agar mau berinvestasi. 

3 dari 3 halaman

Fase Pemulihan Ekonomi

Partner of Tax Research and Training Services DDTC Bawono Kristiaji mengamini, dalam fase pemulihan ekonomi, otoritas pajak secara global berlomba-lomba memberikan insentif pajak. Di tengah kompetisi tersebut, insentif pajak perlu diberikan dengan lebih tepat sasaran.

Menurut Bawono, korporasi membutuhkan insentif yang berbeda dalam setiap fase pemulihan ekonomi. Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali jenis insentif, kriteria yang dapat memanfaatkan, durasi insentif, dampak dan efektivitas, serta administrasinya.

“Pemberian insentif tidak bisa bersifat permanen dan disamakan dalam waktu lima tahun mendatang,” ujar Bawono.

Seperti diketahui, realisasi investasi pada kuartal kedua tahun ini menurun jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang juga disebabkan oleh pandemi COVID-19.