Sukses

Ekonom: Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Bukan Indikator Utama Pembangunan

Ekonom dari CORE Indonesia Hendri Saparini mengatakan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan suku bunga bukan indikator utama dalam pembangunan.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom dari CORE Indonesia Hendri Saparini mengatakan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan suku bunga bukan indikator utama dalam pembangunan. Sebab tiga hal tersebut hanyalah targetan angka yang menjadi patokan pemerintah dalam pembangunan.

"Kadang-kadang pembangunan kita ini indikatornya inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di angka 5 persen dan suku bunga, padahal bukan itu yang mesti dicapai," kata Hendri dalam diskusi virtual CORE Indonesia bertajuk '75 Tahun Merdeka, Saatnya Reformasi Ekonomi, Jakarta, Jumat (21/8).

Hendri menjelaskan Indonesia masih berstatus negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen pun ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Padahal 70 persen rakyatnya tergolong rentan miskin yang secara pengeluaran juga masih kecil. Tingginya angka konsumsi rumah tangga justru ditopang oleh kelompok menengah dan kelompok atas.

"Semua (konsumsi rumah tangga) ditopang kelompok atas dengan kesenjangan yang tinggi," kata dia.

Tentunya hal tidak sesuai dengan tujuan negara yang menginginkan kesejahteraan bagi semua rakyatnya. Menurutnya, sebagai negara yang baru berusia 75 tahun sangat wajar jika mengalami inflasi lebih dari 3 persen. Sebab hal itu bisa mendorong semua sektor untuk menyesuaikan diri dan bergerak untuk menjadi negara maju.

Jika menengok ke belakang, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum era reformasi di atas 7 persen. Kala itu, industri manufaktur sedang tumbuh tinggi.

Namun memasuki tahun 1990-an terus mengalami penurunan. Kini di masa pembangunan trend pertumbuhan ekonomi malah terus menurun menuju 4 persen.

"Kalau sekarang ini tumbuh di 5 persen menuju 4 persen, tidak mungkin kita yang sedang membangun tapi trend pembangunannya seperti ini," kata dia

Jika hal ini terus dibiarkan, Hendri menyebut akan menimbulkan pekerjaan rumah yang semakin besar. Masalah yang sama akan terus terjadi di setiap peringatan hari ulang tahun.

"Kalau kita terus kaya begini, ini PR terbesar, nanti ulang tahun selanjutnya masih seperti ini," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Ekonomi RI Bisa Tumbuh 0,25 Persen di Akhir 2020, Ini Syaratnya

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa naik hingga 0,25 persen pada akhir 2020. Dengan syarat, pemerintah berhasil menyerap habis seluruh anggaran tahun ini yang totalnya sebesar Rp 2.700 triliun.

Menurut perhitungannya, pemerintah saat ini telah membelanjakan uang negara hingga Rp 1.000 triliun. Dia pun menargetkan pemerintah bisa menyerap Rp 700 triliun pada sisa kuartal 3 tahun ini, dan sisa Rp 1.000 triliun pada kuartal 4.

"Inilah yang menjadi faktor untuk menaikan ekonomi kita above the water, jadi pertumbuhan di atas 0. Jadi kita seluruhnya terserap Rp 1.700 triliun, kita akan mencapai apa yang diprediksi (pertumbuhan ekonomi) sekitar 0,25 persen di akhir tahun," kata Airlangga dalam sebuah sesi webinar, Kamis (20/8/2020).

Airlangga mengatakan, ia telah melihat sejumlah sinyal positif akan kebangkitan ekonomi Indonesia. Seperti Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur yang naik ke level 46,9 pada Juli 2020, lalu angka indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah yang relatif mulai stabil.

"Artinya dunia mulai kelihatan (tumbuh). Kita lihat dari harga minyak, IHSG, rupiah, itu terburuknya di Maret sampai dengan April. Sesudahnya ada rebound, dimana IHSG sudah di atas 5.000 dan rupiah relatif lebih stabil," paparnya.

"Year to date, rencana pertumbuhan kita prediksinya sampai di akhir Desember kita mudah-mudahan bisa di atas 0 atau 0,25 persen," dia menambahkan.

Kondisi ini disebutnya berbanding terbalik dengan beberapa negara besar yang ekonominya terpuruk secara year to date selama pandemi Covid-19. Seperti Inggris, yang disebutnya 9,5 persen. Kemudian Malaysia -3,2 persen, Thailand -5,7 persen, Amerika Serikat -5,1 persen, dan Jerman -5,2 persen.

"Sehingga tentu dengan situasi seperti itu kita perlu optimis. Beberapa langkah sudah dilakukan pemerintah, dan itu terbukti langkah seperti PSBB yang diambil pemerintah bisa menjaga ekonomi tidak jatuh terlalu dalam," pungkas Airlangga.

3 dari 3 halaman

Kepala BKF: Ekonomi Indonesia Bisa di Bawah 0 Persen Tahun Ini

Indonesia belum lepas dari bayang-bayang resesi. Tekanan resesi masih akan terus menyelimuti Indonesia melihat realisasi ekonomi di kuartal ke II 2020 minus 5,32 persen.

"Tekanan resesi masih makin ada, jadi peluang tahun ini tumbuh negatif cukup besar," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (19/8/2020).

Dia mengatakan jika berbicara terus menerus mengenai pertumbuhan ekonomi maka kita bisa kehilangan makna. Biasanya ekonomi tumbuh sebesar 5 persen selama bertahun-tahun, namun kali ini dipastikan turun drastis akibat pandemi Covid-19.

"Tahun ini tiba kita mengarah ke 0 persen dan bisa di bawah 0 persen. Ini berarti orang miskin dan pengangguran baru harus kita tekan, kalau bicara angka saja ini akan menghilangkan cerita besar dari kontraksi ekonomi," jelas dia.

Untuk itu, yang perlu dituamakan kata dia adalah kebijakan yang mengarah kepada masyarakat paling rentan. Paling tidak memberikan bantalan dan beberapa bantuan sosial yang menjadi fokus pemerintah.

"Dengan ini kita harap pertumbuhan ekonomi kita tidak negatif terlalu dalam dan yang paling utama memberikan bantalan kepada masyarakat rentan," jelas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.comÂ