Liputan6.com, Jakarta Kabupaten Temanggung menjadi daerah penghasil tembakau terbesar di Indonesia. Namun, daerah ini hanya memperoleh Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT)Â sekitar Rp 30 miliar- Rp 31 miliar.
Bupati Kabupaten Temanggung, M Al Khadziq menilai jika angka DBHCHT di daerahnya tergolong kecil, mengingat posisinya sebagai produsen tembakau terbanyak.
Di Temanggung, terdapat 20 kecamatan. Sebanyak 14 kecamatan merupakan daerah penanaman atau penghasil tembaku. Dari jumlah itu sebanyak 500 ribu masyarakat di sana telah menggantungkan hidupnya menjadi petani tembakau.
Advertisement
"Selama ini cukai tembakau khususnya DBHCHT kurang dirasakan manfaatnya bagi masyarakat petani tembakau, Temanggung sebagai daerah penghasil tembakau mendapatkan dana DBHCHT sekitar Rp 30 miliar-Rp 31 miliar," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (23/8/2020).
Dana bagi hasil cukai tembakau di Temanggung terlalu kecil. Ini bila dibandingkan dengan kabupaten lain di Jawa Timur yang produksi tembakau lebih sedikit atau tidak sebanyak Temanggung. Namun dana bagi hasil cukai tembakau mencapain Rp 190 miliar.
"Petani Temanggung yang penghasil bahan baku industri rokok tidak mendapatkan porsi dana bagi hasil dari cukai ini,"Â jelas dia.
Â
Â
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan video di bawah ini:
Pemerintah Diminta Kaji Kembali Kenaikan Tarif Cukai Rokok Hasil Produksi Petani
Pemerintah diminta kembali mempertimbangkan kenaikan tarif cukai rokok, khususnya untuk rokok berbahan baku hasil produksi para petani. Ini merupakan permintaan Bupati Temanggung, M Al Khadziq.
Seperti diketahui, kenaikan tarif cukai rokok sendiri sudah berlaku efektif sejak awal tahun sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
"Mohonlah kenaikan cukainya jangan terlalu tinggi untuk memberikan ruang hidup bagi masyarakat kita sendiri. Toh mereka adalah saudara-saudara kita para petani tembakau yang juga dari dulu ikut berjuang mendirikan negara ini mereka adalah saudara-saudara kita semua yang harus kita bela yang harus kita tempatkan untuk tempat yang layak," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (23/8/2020).
Dia mengatakan, kalaupun pemerintah ingin melakukan perubahan di industri tembakau dan pergeseran maka para petani harus dibina dan dipikirkan betul.
"Kalaupun memang cukai ini harus dinaikkan oleh pemerintah yang mohonlah bagi hasilnya yang bisa dirasakan oleh petani tembakau porsinya diperbesar," kata dia.
Sebagai daerah penghasil tembakau terbesar, Kabupaten Temanggung hanya memperoleh dana bagi hasil cukai hasil tembakau sekitar Rp30-31 miliar saja. Sementara kabupaten lainnya menerima porsi lebih besar.
Dia menyampaikan, pihaknya menjadi pemerintah daerah pertama yang protes saat pusat berencana menaikkan tarif cukai tembakau. Karena jika itu terealisasi akan mengganggu atau berdampak pada harga tembakau di tingkat petani.
"Kita adalah satu-satunya Pemerintah Daerah yang waktu itu mengajukan keberatan soal rencana kenaikan cukai tembakau. Saya tidak tahu setelah kami datang apakah ada pemerintah daerah lain kami memberikan masukan waktu itu kepada bapak Dirjen,"Â jelas dia.
Dalam pertemuan itu, dia sempat menyarankan jika memang cukai dinaikan maka kenaikan itu diberlakukan kepada rokok-rokok yang menggunakan bahan baku impor. Sedangkan rokok-rokok yang jelas menghidupi masyarakat dan petani cukainya tidak perlu dinaikan.
"Ini untuk memberikan ruang bagi para petani kita saudara-saudara kita yang sudah jelas berkontribusi pada pembangunan bangsa dan negara ini," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Haryanto pun menanggapi bahwa apa yang diutarakan Bupati Temanggung sebenarnya mencerminkan banyak kepentingan. Karena ada kepentingan kesehatan, ada kepentingan industri dan yang terkait. Dan dalam menerapkan tarif cukai ini tidak mudah karena selalu ada 4 pilar utama yang mendasarinya.
Empat pilar kebijakan cukai tersebut diantaranya, pengendalian konsumsi, optimalisasi penerimaan negara, keberlangsungan tenaga kerja, dan peredaran rokok ilegal. Nirwala bilang, keempat pilar itu mencerminkan banyak kepentingan baik kesehatan, industri, pertanian, dan tenaga kerja. Namun begitu, Kementerian Keuangan tetap menjaga agar semua kepentingan ini mampu diakomodir meski mengalami kesulitan.
"Inilah sulitnya kementerian keuangan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan kesehatan dengan kepentingan perindustrian. Di sisi lain kementerian keuangan juga harus mencari uang. Jadi gimana mengharmoniskan kepentingan tadi. Kesehatan misalnya, konsumsi rokok harus turun, tapi juga disisi lain industri harus hidup, karena ada kepentingan dengan pertanian, tenaga kerja, bagaimana. Jadi kita harus menjaga resultan tadi," kata dia.
Nirwala menegaskan bahwa realisasi penerimaan cukai, hampir setiap tahunnya selalu tercapai sesuai target yang ditetapkan di APBN. Pencapaian target itu berhasil ditorehkan juga pada saat pandemi seperti saat ini.
"Mengacu kepada data yang kita peroleh, tahun 2017 lalu capaian target realisasi mencapai 100,2 persen sedangkan pada tahun 2019 capaian target realisasi naik mencapai 103,8 persen," ungkapnya.
Kemudian, lanjutnya, kontribusi penerimaan cukai paling besar menurut data yang ia tunjukkan, masih dipegang oleh industri rokok, sebanyak 61,4 persen atau sebesar Rp200 triliun. "Jika kita bandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Indonesia menjadi nomor 1 kontribusi cukai rokok, kemudian dilanjutkan dengan Filipina sebesar 4,62 persen," ucapnya.
Maka dengan itu, lanjutnya, melalui industri hasil tembakau (IHT) tentu saja menimbulkan multiplier effect yang sangat besar. Ia memperkirakan efek cukai rokok ini akan memengaruhi sekitar 3,6 persen kontribusi terhadap GDP.
Seperti diketahui, pemerintah memutuskan menaikkan tarif cukai rokok sebesar 25 persen dan berlaku efektif pada 1 Januari 2020 lalu. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Dalam aturan itu, Kementerian Keuangan merinci satu persatu jenis rokok dan besaran tarif kenaikannya. Untuk jenis rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I buatan dalam negeri, batasan harga jual eceran per batang dinaikkan dari Rp 1.120 per batang menjadi Rp 1.700 per batang. Cukainya naik dari Rp 590 menjadi Rp 740 per batang atau 25,4 persen.
Sementara itu, untuk jenis Sigaret Putih Mesin (SPM), batas harga jual eceran per batang naik dari Rp1.120 per batang menjadi Rp1.790. Kenaikan tarif cukainya naik dari Rp625 menjadi Rp790 per batang atau 26,4 persen.
Ada juga Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan I, yang harga eceran dinaikkan dari Rp1.260 menjadi Rp1.460 per batang. Di mana arif cukainya, naik dari Rp 365 menjadi Rp 425 per batang.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Â
Â
Advertisement