Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Komisioner LPS, Halim Alamsyah menyebut sudah ada 20 bank umum yang menunda pembayaran premi penjaminan per Agustus 2020. Begitu juga dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
"Atas keterlambatan ini, terdapat 20 bank umum dan 124 BPR (Bank Perkreditan Rakyat) yang memanfaatkan relaksasi denda tersebut," ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (24/8).
Sejak Juli 2020, LPS membebaskan denda bagi bank yang telat membayar premi pinjaman selama enam bulan ke depan. Adapun premi penjaminan LPS adalah 0,2 persen dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan.
Advertisement
LPS sendiri berkomitmen memberikan kelonggaran pembayaran premi penjaminan kepada perbankan di tengah pandemi Covid-19 ini. Tujuannya untuk memberikan ruang yang lebih besar kepada bank dalam mengelola likuiditas.
Halim menilai penyampaian laporan keuangan perbankan per 22 Agustus 2020 sudah tepat waktu. Menurutnya, hal ini mencerminkan kinerja perbankan yang tetap baik di tengah tekanan akibat pandemi.
"Kebijakan relaksasi laporan data per 22 Agustus, hampir seluruh bank tetap sampaikan laporan keuangan mereka tepat waktu. Ini menunjukkan bank-bank nasional kita tetap bekerja dengan baik walaupun di tengah pandemi COVID-19," jelasnya.
Meski demikian, kondisi perbankan secara umum dinilai masih baik. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio kecukupan modal (CAR) perbankan nasional masih kuat di level 22,59 persen, bahkan meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat 22,14 persen.
Sementara rasio intermediasi (LDR) semakin longgar di angka 88,64 persen per Juni 2020, turun dibandingkan sebulan sebelumnya yang tercatat 90,42 persen.
Namun untuk rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) per Juni 2020 tercatat 3,11 persen (gross), meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di posisi 3,01 persen (gross). Sedangkan untuk NPL nett pada Juni 2020 sebesar 1,13 persen, justru turun tipis dari periode bulan sebelumnya 1,17 persen.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tak Asal-asalan, Ini Kriteria Bank yang Bakal Dibekukan LPS
Direktur Eksekutif Klaim dan Restitusi Bank Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Suwandi mengatakan, LPS tidak asal-asalan dalam membekukan suatu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau bank umum. Setiap bank yang diindikasi bermasalah diteliti dengan seksama sebelum diputuskan untuk diselamatkan atau tidak.
"Kalau kita lihat lebih dalam lagi, kita melihat dari kinerja keuangannya sebelum bank dilikuidasi. Maka sebenarnya dari sisi teori kebangkrutan likuidasi atau intervensi itu sesuatu proses nggak tiba-tiba. Tidak ujug-ujug," ujarnya dalam diskusi online, Jakarta, Senin (4/8).
Adapun proses kegagalan bank dimulai dengan early impairment atau penurunan nilai. Kemudian terjadi pemburukan kinerja, lalu ditemukan adanya permasalahan cash flow serta diikuti gagal memenuhi kewajiban.
"Early impairment dulu, ada pemburukan kinerja, lalu permasalahan cash flow, gagal memenuhi kewajiban, kemudian akhirnya insolvensi karena kewajibannya jauh lebih kecil dari aset modal tergerus, baru bankruptcy (bangkrut). Ini konteks yang alamiah," kata Suwandi.
Pemicu suatu bank gagal di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh kecurangan atau fraud yang dilakukan oleh Komisaris, Direksi atau pemilik bank. Umumnya fraud yang dilakukan berupa kredit fiktif dan penyalahgunaan simpanan.
"Ada fraud misalnya kredit fiktif dan penyalahgunaan simpanan. Salah satu cara yang dilakukan menyelamatkan biasanya penambahan modal. Tapi ini tidak bisa jangka panjang. Ini poin penting, ini hampir kejadian diseluruh BPR yang kami tangani," katanya.
"Jadi jarang sekali BPR tutup, hampir tidak pernah yang kita temukan, bangkrut setelah bank itu kalah bersaing dengan bank umum di sekitarnya. Bukan seperti itu ternyata. Jadi sebagian besar satu dua yang memang bukan fraud tapi sudah lama tidak operasional karena dispute misalnya. Tapi diluar itu adalah adanya fraud yang dilakukan komisaris, direksi dan pemilik bank itu," katanya.
Advertisement