Liputan6.com, Jakarta Gabungan kelompok buruh dari Aliansi Buruh Jabar (AJB) menuntut Gubernur Ridwan Kamil ikut serta menolak disahkannya omnibus law oleh pemerintah pusat. Pasalnya dalam materi rancangan omnibus law, terindikasi adanya aturan yang merugikan kesejahteraan buruh.
Menurut juru bicara AJB Roy Jinto Ferianto, desakan terhadap Gubernur Ridwan Kamil itu dilayangkan karena pemerintah setempat dianggap mendukung diberlakukannya omnibus law. Roy menjelaskan hal itu terlihat dari beberapa kebijakan yang diambil sebelumnya oleh Ridwan Kamil.
“Ya kita berharap ini disampaikan walaupun kita pesimis. Pertama aneh di Jawa Barat, di 34 provinsi (hanya) Jawa Barat yang mengeluarkan SE (surat edaran upah minimum provinsi) tanggal 21 November 2019, sedangkan provinsi - provinsi yang lain tidak. Dan ini seolah - olah gubernur sudah secara tidak langsung menurut kaca mata buruh, sudah setuju dengan omnibus law. Karena memang di omnibus law, UMK itu dihapus jadi gitu,” ujar Roy di depan Kantor Gubernur Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung, Selasa, 25 Agustus 2020.
Advertisement
Roy berharap Gubernur Ridwan Kamil menyampaikan penolakan buruh soal omnibus law kepada Presiden dan DPR RI, serta klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari omnibus law. Roy menuturkan materi dalam klaster ketenagakerjaan terdapat 68 pasal dan aturan itu sudah tercantum dalam Undang - undang 13 Tahun 2003.
Roy mengaku kelompok buruh sebenarnya mendukung adanya kemudahan perizinan investasi untuk meningkatkan sektor ekonomi oleh pemerintah. Tetapi klaster ketenagakerjaan sebut Roy, harus segera dikeluarkan dari rancangan omnibus law.
“Kita setuju masuknya investasi masuk ke republik ini. Tetapi dengan seiring adanya investasi, kita ingin tetap bahwa kesejahteraan buruh tidak dikurangi. Oleh karena itu, kita sepakat ada empat poin bahwa adanya keputusan MK yang dimenangkan buruh soal out sourching, upah minimum dan PHK dan lain sebagainya, itu akan dkembalikan pada Undang - undang 13. Itu juga berlaku untuk sanksi pidana,” tutur Roy.
Sayangnya dalam siaran pers soal hal tersebut, Roy mengungkapkan adanya pemotongan informasi. Sehingga seolah - olah buruh menyepakati soal omnibus law ini.
Padahal dalam kenyataannya hasil pertemuan dengan DPR RI, bahwa kelompok buruh meminta kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari 11 klaster yang masuk dalam omnibus law. (Arie Nugraha)
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ribuan Buruh Gelar Demo di 22 Provinsi Tolak Omnibus Law dan PHK Massal
Puluhan ribu buruh melakukan aksi unjuk rasa yang dipusatkan di Menko Perekonomian dan DPR RI, Selasa (25/8/2020).
Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, bersamaan dengan aksi di Jakarta, aksi juga serentak dilakukan di berbagai daerah dengan mengusung isu yang sama.
“Beberapa provinsi yang akan melakukan aksi antara lain, Jawa Barat di Gedung Sate Bandung, Banten di Serang, Jawa Tengah di Semarang, Jawa Timur di Gedung Grahadi Surabaya,” kata Said Iqbal.
Lebih lanjut dia mengatakan, aksi serupa juga akan dilakukan di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, Batam, Lampung, Banjarmasin, Samarinda, Gorontalo, Makasar, Manado, Kendari, Mataram, Maluku, Ambon, Papua, dan sebagainya.
Ada dua isu yang dibawa dalam aksi ini adalah tolak omnibus law draft pemerintah dan stop PHK massal dampak covid 19.
Dijelaskan Said Iqbal, setidaknya ada sembilan alasan kaum buruh menolak omnibus law draft pemerintah, yang terangkum dalam 23 pertanyaan mendasar untuk menolak omnibus law. Kesembilan aladan tersebut adalah hilangnya upah minimum, berkurangnya nilai pesangon, waktu kerja eksploitatif, karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup, phk dipermudah, hak cuti dan upah atas cuti dihapus, tka buruh kasar dipermudah masuk, sanksi pidana dihapus, serta potensi hilangnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak dan outsourcing seumur hidup..
Dalam omnibus law, upah akan semakin murah. Karena selain menghilangkan UMK dan UMSK, juga diberlakukan upah minimum industri pada karya. Selain itu, kenaikan upah hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Padahal dalam PP No 78/2005, kenaikan upah minimum didasarkan pada inflansi plus pertumbuhan ekonomi.
Dalam omnibus law juga, pekerja kontrak dan outsourcing diperbolehkan untuk seluruh jenis pekerjaan dan berlaku seumur hidup tanpa batas kontrak. Akibatnya, buruh tidak lagi diangkat menjadi karyawan tetap. Karena bukan karyawan tetap, dengan sendirinya hak pesangon pkerja kontrak dan outsourcing tidak akan pernah mendapatkan pesangon seumur hidupnya selayaknya karyawan tetap.
Jika ada program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari pemerintah tapi berlaku untuk pekerja bermasa kerja 1 tahun keatas, jadi pengusaha buat saja kontrak kerja per 11 bulan saja diputus terus dikontrak lagi dan seterusnya, maka tidak perlu bayar JKP.
Dalam omnibus law, pesangon dihapus dan dikurangu nilainya. Sebab dslam UU No 13/2003 disebutkan bahwa yg disebut pesangon itu ada tiga komponen dalam pesangon, yaitu uang pesangon itu sendiri, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebesar 15%. Dalam omnibus law, uang penggantian hak dihapys dan bukan lagi kewajiban. Nilai dari uang penghargaan masa kerja dikurangi.
Dalam omnibus law juga, waktu kerja eksploitatif. Karena hanya diatur waktu kerja maksimal 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jadi pengusaha bisa saja buruh dipekerjakan 7 hari dalam seminggu, hari senin sampai hari minggu tanpa libur, dengan cara 6 jam kerja sehari senin sampai sabtu dan hari minggu 4 jam kerja sehari. Jam kerja seperti layaknya perbudakan modern.
Dalam omnibus law, TKA buruh kasar mudah masuk. Karena TKA yang bekerja di Indonesia tidak lagi memerlukan surat izin tertulis dari menteri.
Dalam UU No 13/2003, RPTKA mensyaratkan harus dilaporkan bahwa tka wajib didampingi tenaga kerja lokal sebagai pendamping agar keluar surat izin tertulis menteri. Tapi dalam omnibus law, TKA bekerja dulu baru dilaporkan menyusul tenaga lokal pendamping tanpa harus ada surat izin menteri, jadi mudah sekali buruh kasar TKA bekerja di Indonesia.
Advertisement
Bentuk Tim Bersama
Menurut Said Iqbal, KSPI dan KSPSI AGN serta 32 federasi serikat pekerja lainnya seperti FSP LEM, RTMM, TSK, FSPI, PPMI 98, FSPMI, SPB, FSP KEP, ASPEK Indonesia, dan yang lain mengapresiasi kerja dari pimpinan DPR. Khususnya Wakil Ketua Sufmi Dasco, dan pimpinan serta anggota Panja Baleg RUU Cipta Kerja DPR RI, yaitu Supratman, Willy Aditya, Sturman, Arteria Dahlan, Heri Gunawan, Lamhot, Guspardi, Obon Tabroni, dan lain lain yang telah menampung aspirasi KSPI dan serikat buruh lainnya yang menolak omnibus law klaster ketenagakerjaan draft pemerintah.
DPR RI dan Serikat Pekerja sepakat untuk membahas aspirasi buruh tersebut dengan membentuk tim bersama atau tim perumus.
"Aksi 25 Agustus ini, selain menyampaikan tuntutan, juga memberikan dukungan kepada DPR RI yang telah bekerja sungguh sungguh memenuhi harapan buruh agar bisa didengar," tegas Said Iqbal.
Adapun harapan buruh yang disampaikan dalam tim perumus bersama tersebut adalah, agar klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Atau setidaknya, UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan tidak dirubah atau direvisi sedikitpun. Jadi UU No 13/2003 tetap berlaku seperti sekarang, termasuk didalamnya semua putusan MK yg sudsh final terhadap UU No 13/2003 tsb tidak boleh dirubah .
"Kalaulah ingin memasukkan perihal ketenagakerjaan kedalam omnibus law , maka sebaiknya memasukan tentang perihal pengawasan ketenagakerjaan agar lebih kuat, meningkatkan produktivitas melalui program pendidikan dan pelatihan, atau segala sesuatu yang belum diatur dalam UU No 13/2003, seperti pekerja industri start up, UMKM, dan transportasi online," tambahnya.
Sekali lagi Said Iqbal menegaskan, aksi ini adalah juga untuk mendukung sekaligus mengapresiasi DPR RI yang sudah mengambil langkah membentuk tim perumus bersama 32 kofederasi dan federasi Serikat Pekerja.
"Tentu KSPI setuju investasi harus lebih banyak masuk ke Indonesia, hambatan yang ada harus ditiadakan dan dipermudah. Tetapi secara bersamaan, perlindungan bagi buruh yang paling minimal dalam UU No 13/2003 tidak boleh dikurangi atau diubah. Untuk itu, sebaiknya klaster ketenagakerjaan dikeluarkan saja dari RUU Cipta Kerja."
"Kami berharap, pemerintah dan DPR bisa menerima sikap KSPI bersama KSPSI AGN, dan 32 Konfederasi serta federasi lainnya, yaitu mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dan RUU Cipta Kerja, atau setidaknya UU no 13/2003 tidak dilakukan perubahan atau dikurangi sama sekali."
"Aksi ini akan terus berlanjut jika aspirasi buruh tidak dikabulkan pemerintah dan DPR RI," pungkasnya.