Liputan6.com, Jakarta Para pengusaha melihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia belum inklusif. Hal tersebut terlihat meskipun ekonomi tumbuh tinggi setiap tahun tetapi penyerapan tenaga kerja justru terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menjelaskan, seharusnya pembangunan Indonesia inklusif dengan memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun sejauh ini hal tersebut belum bisa tercapai.
Baca Juga
"Melihat pertumbuhan ekonomi kita dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja maka dari data dari BKPM yang kita bisa lihat tren 2013-2019 cukup mengkhawatirkan,” jelas dia dalam webinar Kebijakan Pembangunan yang Inklusif dan Berkelanjutan Strategi Pemulihan Pasca-Pandemi, Rabu (26/8/2020).
Advertisement
Selama ini investasi yang masuk ke Indonesia lebih kepada padat modal dibanding padat karya. Untuk itu perlu perhatian khusus bagi sektor padat karya, termasuk juga Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai sektor yang menyerap banyak tenaga kerja.
Selain itu, Hariyadi juga berharap dengan adanya omnibus law melalui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) bisa mendorong terbentuknya ekosistem ketenagakerjaan yang mengakomodir kebutuhan saat ini. Hal tersebut tentu saja dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Di mana undang-undang Ketenagakerjaan ini ini lebih berat kepada perlindungan tenaga kerja, tapi tidak memperhatikan supply dan demand-nya,” ujarnya.
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan video pilihan berikut ini:
Ketimpangan Daerah
Pembangunan ekonomi Indonesia belum inklusif juga bisa dilihat dari indeks ketimpangan antar wilayah (Indeks Williamson). Ketimpangan antar wilayah di Indonesia masih tinggi.
Ketimpangan antara kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia masih sangat tinggi. Selain itu, ketimpangan antar provinsi juga masih sangat besar.
Kebijakan Otonomi Daerah yang dijakankan sejak 2001 belum menunjukkan efektifitasnya dalam mengurangi ketimpangan antar daerah.
"Yang terjadi justru penambahan beban dari otonomi ini, jadi beban overhead dalam mengelola daerah pemekaran itu menjadi besar tetapi tidak seiring dengan efektivitas kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.
Advertisement