Liputan6.com, Jakarta - Jurang resesi semakin nyata. Pemerintah sebelumnya cukup optimistis Indonesia bisa menghindari perlambatan pertumbuhan ekonomi dua kuartal berturut-turut, tetapi ternyata keyakinan tersebut luntur.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memperkirakan, ekonomi Indonesia pada kuartal III akan terkontraksi atau minus hingga 2 persen. Artinya, dengan realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal II yang minus 5,32 persen maka Indonesia akan masuk jurang resesi.
"Indikator di bulan Juli kita memang melihat downside ternyata tetap menunjukkan suatu risiko yang nyata. Jadi untuk kuartal ketiga kita outlooknya adalah antara 0 hingga negatif 2 persen. Kita lihat karena negatif 2 persen tadi pergeseran dari pergerakan yang belum terlihat, ini sangat sulit meskipun ada beberapa yang sudah positif," kata Sri Mulyani dalam APBN KiTa, Selasa (25/8/2020).
Advertisement
Menkeu mengatakan, kunci utama dalam menghadapi situasi ini adalah konsumsi dan investasi. Meskipun pemerintah sudah all out, namun jika kedua kunci tersebut masih negatif, maka akan sangat sulit mencapai zona netral.
"Ini harus dilihat dan dimonitor. Makanya, Presiden minta menteri fokus melihat indikator investasi. Kuartal II kontraksi dalam. Kuartal III dan Kuartal IV bisa mulai pulih paling tidak mendekati 0 persen," kata Sri Mulyani pada Selasa 25 Agustus 2020.
Menurut Sri Mulyani, salah satu indikator pertumbuhan ekonomi yang belum pulih adalah konsumsi rumah tangga. Dirinya mengaku sulit untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga di sisa tahun 2020.
Pada kuartal II 2020 konsumsi rumah tangga berada di bawah 5 persen atau masuk ke dalam zona negatif yakni berada minus 1,3 persen. Sementara proyeksi keseluruhan konsumsi rumah tangga hingga akhir tahun hanya berada di 0 persen.
"Pada kuartal ketiga dan keempat diakui bahwa ini adalah satu yang cukup berat karena di kuartal ketiga konsumsi kita lihat belum menunjukkan pemulihan seperti yang kita harapkan," kata dia.
Namun, Sri Mulyani memastikan bahwa pemerintah akan terus mengupayakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal III dan IV.
"Jangan menyerah dulu kita upayakan konsumsi kalau meningkat dan orang mulai kegiatannya kita lihat mobility index itu bisa dikerjakan kegiatan ekonomi konsumsi dan investasi," kata dia.
Bendahara Negara ini menambahkan, kalau berkaca pada kuartal II 2020 ekonomi RI yang tumbuh negatif 5,32 persen itu masih lebih baik dibandingkan negara lain. Mestinya, pada kuartal III Indonesia bisa jauh lebih meningkat memperbaiki ekonomi sehingga tidak masuk jurang resesi.
Fokus
Staf Khusus Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal Sektoral Menteri Keuangan Candra Fajri Ananda menambahkan, dalam variabel makro ekonomi, hampir semua mengalami kontraksi cukup dalam. Contohnya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi dan ekspor.
"Untuk itu, di kuartal III seharusnya kita fokus pada variabel yang bisa kita kontrol, seperti belanja pemerintah," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (26/8/2020).
Untuk itu, Candra menyebutkan setidaknya Rp 500 triliun belanja kementerian dan lembaga perlu direalisasikan sepanjang Agustus hingga September.
“Tentu ini tidaklah mudah, tetapi dengan upaya maksimal maka kita berharap capaian pertumbuhan lebih baik dan tidak minus untuk menghindari krisis,” tambah dia.
Di luar itu, Candra menilai pemerintah pusat perlu melakukan harmonisasi program dengan pemerintah daerah untuk mengurangi overlapping program. “Ke depan, seharusnya data yang selama ini bermasalah, perlu dibuat terintegrasi dan bisa dimanfaatkan bersama oleh semua lembaga,” katanya.
Saksikan Video Ini
Berbagai Stimulus
Pemerintah pun telah meluncurkan sejumlah program dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Langkah ini ditempuh sebagai wujud komitmen Pemerintah dalam menjawab tantangan situasi pandemi terkini dan menghindari jurang resesi.
"Pemerintah meluncurkan eskalasi program-program padat karya, subsidi upah, dan perluasan pemberian kredit," tutur Menko Perekonomian Airlangga, Rabu (26/8/2020).
Program padat karya yang kini tengah berjalan, lanjut Airlangga, segera ditingkatkan intensitasnya. Hal ini dapat mengurangi tekanan pengangguran dan meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat.
Bantuan Subsidi Upah (BSU) akan diberikan kepada pekerja pegawai swasta. Bantuan akan diberikan sebesar Rp 600 ribu per bulan untuk satu orang pekerja selama 4 bulan dan disalurkan dalam 2 tahap, yaitu pada kuartal III dan kuartal IV tahun 2020.
Tidak sembarang pekerja swasta, terdapat beberapa kriteria pegawai swasta yang dapat menerima bantuan ini. Salah satunya adalah pekerja dengan upah di bawah Rp 5 juta per bulan yang mengalami tekanan akibat Covid-19 dan tenaga kerja aktif yang terdaftar dalam BP Jamsostek.
"Selanjutnya kartu prakerja diprioritaskan untuk mereka yang tidak terdaftar di BP Jamsostek yang sudah diberikan bantuan upah. Kami telah kembangkan kartu pra kerja dari skema awal targetnya 2 juta, kini skemanya menjadi 5,6 juta," lanjutnya.
Program perluasan pemberian kredit juga ditujukan bagi rumah tangga dan korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Fasilitas bunga 0 persen disalurkan melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diperluas. "Tahap awal dengan target mencapai 2 juta nasabah tahun 2020. Dengan plafon pinjaman diperkirakan Rp 6-10 Juta," kata Airlangga.
Terbaru, pemerintah akan memberikan diskon iuran BPJS Ketenagakerjaan. Direktur Perencanaan Strategis dan Teknologi Informasi BPJamsostek, Sumarjono mengatakan draft rancangan Perppu terkait dana penyesuaian iuran program jaminan sosial selama bencana non alam Covid-19 sudah ada di meja Presiden Joko Widodo.
Draft aturan tersebut merupakan patung hukum terhadap relaksasi pembayaran iuran jaminan sosial bagi perusahaan pemberi kerja.
"Draft tersebut sudah ada di meja Presiden dan sudah mendapatkan paraf dari para menteri, tinggal menunggu tanda tangan presiden," kata Sumarjono dalam webinar, Rabu (26/8/2020).
Dalam aturan tersebut pemerintah akan memberikan berbagai diskon pada tarif iuran jaminan sosial di BPJS Ketenagakerjaan hingga 99 persen. Diskon iuran ini hanya berlaku bagi jaminan sosial kecelakaan kerja dan jaminan kematian.
"Hanya 1 persen dari yang selama ini dibayarkan. Jadi ini hampir gratis," kata Sumarjono.
Alasannya, sampai saat ini dana tersebut masih kuat. Selain itu sebagai bentuk relaksasi kepada perusahaan yang telah menyerap tenaga kerja. Dengan begitu perusahaan bisa ekspansi atau setidaknya tidak mengambil langkah PHK sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi.
Advertisement
Bisa Resesi hingga 2021
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira memperkirakan, tidak mustahil jika pertumbuhan buruk tersebut bakal terus berlanjut hingga 2021 mendatang. Penilaian itu diberikannya lantaran pelaksanaan insentif pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dirasa jauh dari optimal karena ada beberapa faktor.
"Pertama, konsep insentif di awal yang terlalu mengandalkan jasa keuangan dalam menyelamatkan UMKM dirasa tidak efektif. UMKM itu kan 90 persen lebih terdiri dari mikro dan ultra-mikro yang sebelumnya masuk dalam kategori unbankable alias tidak dapat pinjaman bank. Ini justru yang distimulus yang mendapat pinjaman bank, artinya jelas tidak bisa menolong UMKM yang paling terkena dampak pandemi," tuturnya kepada Liputan6.com, Rabu (26/8/2020).
Berikutnya, ia menambahkan, sebanyak 24 persen stimulus PEN diarahkan untuk korporasi, sementara hanya 12 persen yang masuk ke kesehatan dan realisasinya rendah.
"Akibatnya timpang antara penyelamatan ekonomi dan kesehatan. Pemulihan justru berjalan lebih lama ketika sektor kesehatan tidak mendapatkan porsi yang dominan," jelas dia.
Selanjutnya, Bhima menyatakan pemerintah terlambat untuk melakukan bantuan langsung tunai (BLT) atau cash transfer kepada pekerja dan sektor usaha mikro. Menurut dia, cash transfer semustinya jauh lebih efektif langsung dibelanjakan dibandingkan penyelamatan korporasi.
Kemudian, ia menyoroti pelaksanaan birokrasi pada saat krisis yang masih memiliki pola sama seperti saat normal. "Pengisian DIPA sangat rendah, sehingga anggaran yang sudah dialokasikan belum terserap optimal. Ini juga terjadi pada pemerintah daerah," sambungnya.
"Efeknya apa? Tahun 2020 diperkirakan Indonesia akan jatuh pada resesi yang berlanjut hingga 2021. PHK massal semakin meningkat, dan angka kemiskinan naik," ujar Bhima.
Sementara Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah berpendapat, pemberian insentif dan stimulus memang tidak dapat jadi acuan apakah Indonesia nantinya akan terjerumus resesi atau tidak.
"Efektif untuk mencegah resesi? Kalau ukurannya resesi, maka seluruh program pemerintah di seluruh dunia tidak efektif. Terbukti mereka semua mengalami resesi," kata Piter kepada Liputan6.com.
Menurut Piter, strategi dan program bantuan pemerintah lebih ditujukan untuk meningkatkan penanggulangan wabah, membantu masyarakat dan dunia usaha yang terdampak agar tidak kolaps atau bangkrut. Sehingga ketika wabah berlalu mereka bisa segera bangkit.
"Berbagai strategi dan program yang dilakukan pemerintah di berbagai negara kalau menurut saya bukan untuk menghindari resesi. Karena resesi di tengah wabah yang begitu panjang adalah sebuah keniscayaan. Tidak terelakkan," tegas Piter.
Kata Pengusaha dan Buruh
Dari sisi pengusaha, Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Soetrisno Iwantono mengatakan, terjadinya resesi atau tidak sebenarnya cuma masalah titel. Saat ini, pengusaha sudah mengalami "resesi" di lapangan secara tidak langsung, terutama bagi pengusaha kecil.
"Di lapangan, di pabrik, kerja baru 30 persen (karyawan yang masuk), hotel 30 persen (okupansi), sudah sekian bulan bagaimana nggak resesi, bagaimana tahan? Dan nggak perlu menghindar juga," katanya kepada Liputan6.com.
Selama masih belum krisis, dunia usaha dan ekonomi secara keseluruhan diyakini bisa kuat dan tahan menghadapi pandemi.
Namun tentu saja, jika hal ini terjadi terus-terusan, hal buruk bisa terjadi. Oleh karenanya, saat ini pemerintah harus terus mendorong stimulus dari sisi permintaan untuk menciptakan daya beli masyarakat.
"Resesi itu, ya, tinggal gelarnya saja. Di realita, kita sudah masuk itu di lapangan kan sudah susah usaha-usaha kecil, kan nggak bisa dagang. Di Tanah Abang, Mayestik, Pondok Gede. Kalaupun jualan juga nggak ada yang beli," ujarnya.
Sedangkan dari sisi buruh, segala stimulus yang diberikan oleh pemerintah memberikan dampak positif. Salah satunya adalah stimulus pemberian gaji tambahan untuk pekerja dengan bayaran di bawah Rp 5 juta.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengapresiasi rencana pemerintah dalam mempercepat penyerapan anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional ( PEN), dengan memberikan bantuan kepada 13 juta pekerja tersebut.
"Terhadap program pemberian bantuan gaji kepada buruh tentu KSPI setuju. Kami berharap program ini bisa segera direalisasikan," kata Said.
Apalagi, menurut Said di masa pandemi Covid-19 ini banyak buruh yang tidak mendapatkan upah penuh, sehingga berdampak pada daya beli buruh turun.
Dirinya mengingatkan, hal yang paling penting dari program ini harus tepat sasaran, tepat guna, dan disertai dengan pengawasan yang ketat terhadap implementasi program tersebut.
"Data 13 juta buruh yang akan menerima bantuan ini harus valid agar pemberian bantuan upah tepat sasaran," ujarnya.
Sebelumnya, Said menyebut KSPI sendiri secara terbuka pernah mengusulkan program subsidi upah bagi buruh terdampak covid-19. Dengan adanya subsidi upah, manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh buruh yang turun daya belinya.
"Program ini hampir mirip dengan subsidi upah di beberapa negara, seperti di Selandia Baru, Eropa Barat, Singapura, dan Australia," pungkasnya.
Advertisement