Sukses

DPK Perbankan Tumbuh 8,53 Persen pada Juli 2020

Tingginya kenaikan DPK industri perbankan dipicu naiknya status 6 bank dari buku I ke buku II.

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan, Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan tumbuh sebesar 8,53 persen (yoy) pada Juli 2020. Kondisi ini didorong pertumbuhan DPK bank buku IV sebesar 12,94 persen.

"Dana Pihak Ketiga (DPK) tetap tumbuh di level yang tinggi sebesar 8,53 persen (yoy)," dalam konferensi pers virtual, Jakarta, Kamis (27/8/2020).

Tingginya kenaikan DPK ini juga dipicu naiknya status 6 bank dari buku I ke buku II dan dari buku III ke buku IV. OJK mencatat 4 bank berpindah dari BUKU I ke BUKU II, dan 2 Bank berpindah dari BUKU III ke BUKU IV.

"Ada beberapa bank yang berpindah kelompok bank akibat merger atau tambahan modal," kata dia.

Kata Wimboh, pihaknya memang mendorong konsolidasi perbankan dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19. Tujuannya untuk memperkuat daya saing industri perbankan.

Wimboh melanjutkan, per 14 Agustus 2020, Rasio alat likuid atau non-core deposit dan alat likuid atau DPK terpantau pada level 128,01 persen dan 27,15 persen. Angka ini jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

OJK Sebut Perbankan Tengah Banjir Likuiditas

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso mengatakan industri keuangan memiliki kekuatan prima dalam mendorong program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pemerintah. Sebab sektor keuangan memiliki modal yang cukup untuk menyalurkan kredit untuk memberikan permodalan.

"Kita enggak worry (khawatir) bank modalnya tidak cukup dalam hal mendorong pertumbuhan kredit," kata Wimboh dalam konferensi pers virtual, Jakarta, Kamis (27/8/2020).

 

Wimboh menuturkan, di level permodalan, OJK mencatat, bank masih punya ruang yang besar untuk mencapai pemulihan ekonomi. Bahkan saat penyusunan RAPBN 2021, dia menilai perekonomian tidak memiliki masalah dalam permodalan.

Selain itu, perbankan juga memiliki likuiditas yang cukup saat menyalurkan kredit. Perbankan bahkan masih memiliki permodalan yang besar jika ada yang mengajukan kredit dalam jumlah besar.

"Perbankan ini banjir likuiditasnya, ada yang mampu mendukung kredit yang cukup besar," kata dia.

Hanya saja, fakta yang terjadi di lapangan bukan masalah suplai pendanaan. Melainkan permintaan produk atau sektor konsumsi yang masih rendah. Sehingga membuat para pelaku usaha masih belum berani kembali beroperasi.

Di sektor pariwisata misalnya, pengusaha hotel dan restoran masih belum mempertimbangkan untuk mengajukan kredit permodalan.

Artinya, kata Wimboh, hal ini menunjukkan masyarakat masih belum yakin dan percaya untuk kembali beraktivitas seperti sebelum pandemi.

"Bukan dari permasalahan modal, tapi ada atau tidaknya permintaan yang bikin pengusaha ini beraktivitas kembali," kata Wimboh.

Dia menambahkan sejauh ini, pengajuan kredit permodalan didominasi oleh para pelaku usaha Mikro dan UMKM. Sementara pinjaman modal dalam angka besar masih belum maksimal karena membutuhkan hitungan yang terukur.

Sehingga proses percepatan pemulihan ekonomi bukan disebabkan suplai permodalan, tetapi ada faktor lain juga berkontribusi.

"Jadi percepatan tergantung banyak hal bukan dari kredit aja," katanya orang nomor satu di OJK itu.