Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) mencatatkan rugi bersih sebesar USD 767,92 juta atau sekitar Rp 11,23 triliun (asumsi kurs Rp 14.631) pada semester I 2020.
Penurunan laba Pertamina disebabkan pendapatan usaha berkurang dari USD 25,55 miliar menjadi USD 20,48 miliar. Hal ini disebabkan penjualan minyak dalam negeri seperti minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi dan produksi minyak tercatat turun 20,91 persen menjadi USD 16,56 miliar.
Advertisement
Pertamina juga mengalami rugi selisih kurs sebesar USD 211,83 juta, dimana tahun lalu di periode yang sama, selisihnya masih positif USD 64,59 juta.
Namun ternyata, kerugian Pertamina ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan perusahaan energi lainnya. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, pandemi Covid-19 membawa dampak pada penurunan konsumsi minyak. Ini disebabkan sebagian kegiatan berhenti untuk memutus penularan Covid-19. Hal ini berujung pada menurunya kinerja industri migas.
"Pandemi Covid-19 ini bisa dikatakan kondisi force majeure dimana tidak ada satupun pihak yang siap akibat dampak dari Covid-19 ini," kata Mamit seperti ditulis pada Jumat (28/8/2020).
Mamit mengungkapkan, banyak perusahaan migas pun mengalami kerugian akibat pandemi Covid-19. Namun, meski dalam laporan keuangan Pertamina semester 1 2020 mengalami kerugian sebesar USD 767,2 juta atau setara dengan Rp 11,33 triliun, masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan perusahaan migas dunia yang lain.
Dia menyebutkan, Exxon Mobil, dalam laporan yang diterbitkan tanggal 31 Juli 2020 menyampaikan kerugian USD 1,1 miliar selama semester 1 2020 karena pasokan minyak dunia menurun karena pandemi COVID-19.
"Akibat kerugian ini, Exxon nilai saham terdilusi sebesar USD 0,26 per lembarnya," tuturnya.
Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan minyak asal Inggis yaitu BP. Berdasarkan laporan keuangan yang perusahaan minyak asal Inggris ini, sepanjang semester 1 2020 harus mengalami kerugian sebesar USD 6,7 miliar. Berbanding terbalik dengan periode tahun lalu dimana BP mendapatkan keuntungan sebesar USD 2,8 miliar.
Chevron, perusahaan migas yang berbasis di Amerika Serikat dalam laporan keuangannya di semester 1 2020 mengalami kerugian sebesar USD 8,3 miliar, dengan saham yang terdilusi sebesar USD 4,44 per lembarnya.
"Penyebab meruginya BP dan Chevron adalah lemahnya harga minyak dan gas dunia," tuturnya.
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pertamina Rugi Rp 11 Triliun di Semester I 2020
Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) mencatatkan rugi bersih sebesar USD 767,92 juta atau sekitar Rp 11,23 triliun (asumsi kurs Rp 14.631) pada semester I 2020. Kinerja tersebut dikutip Liputan6.com dari laporan keuangan Pertamina yang dipublikasi di laman resminya, Senin (24/8/2020).
Angka ini berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun 2019, yang mana saat itu perseroan tercatat membukukan laba bersih USD 659,96 juta atau sekitar Rp 9,6 triliun.
Penurunan laba Pertamina disebabkan pendapatan usaha berkurang dari USD 25,55 miliar menjadi USD 20,48 miliar. Hal ini disebabkan penjualan minyak dalam negeri seperti minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi dan produksi minyak tercatat turun 20,91 persen menjadi USD 16,56 miliar.
Beban produksi hulu dan lifting naik dari USD 2,38 miliar menjadi USD 2,43 miliar. Beban operasional perusahaan ikut naik menjadi USD 960,98 juta dari USD 803,7 juta.
Namun, beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya turun dari USD 21,98 miliar menjadi USD 18,87 miliar. Meski demikian, laba kotor Pertamina tetap merosot 55,05 persen menjadi USD 1,60 miliar.
Pertamina juga mengalami rugi selisih kurs sebesar USD 211,83 juta, dimana tahun lalu di periode yang sama, selisihnya masih positif USD 64,59 juta.
Advertisement