Liputan6.com, Jakarta - Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sangat terbuka dan melibatkan seluruh pihak banyak. Adapun beberapa pihak dilibitakan diantatanya para pekerja buruh, pengusaha, dan praktisi dari akademisi dari berbagai keilmuan.
"Kami Perlu menegaskan bahwa proses panjang pembentukan RUU Cipta kerja khususnya kluster ketenagakerjaan kami memulai kembali mereview kembali kami melibatkan partisipasi stakeholder," kata dia dalam webinar di Jakarta, Jumat (28/8/2020).
Bahkan, lanjut dia, meskipun RUU Cipta kerja telah diserahkan dan tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Ketenagakerjaan bersama-sama dengan unsur pekerja buruh dan pengusaha terus melakukan pendalaman atas substansi ketenagakerjaan.
Advertisement
Pemerintah sangat terbuka atas berbagai masukan yang konstruktif untuk dapat disesuaikan. Mengingat proses pembahasan RUU Cipta kerja di DPR pastinya akan dilakukan secara transparan, demokratis dengan mengedepankan kepentingan nasional.
"Undang-undang RUU yang sudah kami serahkan kepada DPR kami menyadari betul bahwa betapa penting mendengar kembali masukan-masukan dari seluruh stakeholder dan Alhamdulillah itu dilakukan dalam beberapa kali pertemuan dilangsungkan dengan suasana yang sangat dinamis namun kondisi masing-masing pihak tidak ada hambatan untuk mengungkapkan harapan aspirasi semua keinginan," jelas dia.
Menaker Ida menekankan, bahwa undang-undang ini merupakan jawaban atas persoalan yang kita hadapi saat ini. Pemerintah berharap DPR dapat segera mengesahkan RUU Cipta kerja. Karena ini akan menjadi suatu undang-undang yang mampu membentuk ekosistem ketenagakerjaan yang lebih baik.
Selain itu, RUU Cipta Kerja ini diyakini akan mampu mengakomodir kebutuhan kesempatan kerja yang lebih luas, mampu menjaga kelangsungan bekerja dan meningkatkan perlindungan pekerja atau buruh, serta mampu mendukung kelangsungan usaha yang berkesinambungan.
"Saya ingin mengulang bahwa kepentingan mengakomodir kebutuhan kesempatan kerja yang lebih luas tapi di situ kami harus jaga kelangsungan bekerja dan meningkatkan perlindungan pekerja dan buruh dan mendukung kelangsungan usaha yang berkesinambungan. Jadi tidak hanya kepentingan perluasan kesempatan kerja saja tapi betapa penting meningkatkan perlindungan pekerja dan buruh serta bagaimana mendukung kelangsungan usaha itu agar berkesinambungan," jelas dia
"Ketiga hal itu yang kami harus akomodasi dalam RUU Cipta kerja tidaklah benar sekali lagi kalau hanya berkepentingan untuk kesempatan perluasan kerja dengan mendatangkan iklim investasi yang kondusif ketiga-tiganya harus dilakukan secara seimbang," tambah dia.
Dwi Aditya Putra
Merdeka.com
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
RUU Cipta Kerja Diyakini Mampu Genjot Serapan Tenaga Kerja
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menyatakan, kemudahan investasi yang digaungkan melalui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) akan menjadi stimulus untuk menyerap tenaga kerja.
"Kalau dilihat rules-nya, pemerintah ingin buat lapangan kerja semakin banyak lewat jalur investasi, melalui RUU Cipta Kerja," katanya saat dihubungi, Kamis (27/8/2020).
eski demikian, dirinya mengingatkan, kemudahan investasi dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah. Kian banyak investasi yang datang bakal meningkatkan serapan tenaga kerja secara merata di dalam negeri.
Tantangan yang dihadapi juga kian besar. Karenanya, pemerintah harus segera menyeleksi investasi yang diizinkan masuk setelah RUU Ciptaker disahkan. Disarankan mengutamakan industri padat karya mengingat pengangguran menjadi persoalan yang tengah dihadapi.
"Kalau tidak, serapan tenaga kerjanya akan minim," tambah dia.
Heri mengungkapkan, rasio investasi di Indonesia kini tergolong besar terhadap produk domestik besar, sekitar 32 persen. Tertinggi pertama dari konsumsi rumah tangga (55%).
Sayangnya, ungkap dia, kontribusi investasi tersebut kurang signifikan terhadap serapan tenaga kerja. Pangkalnya, sebagian besar tidak membutuhkan banyak sumber daya manusia (SDM), seperti industri digital dan keuangan.
"Investor yang di sektor manufaktur, contohnya sektor jasa dan barang, itu kontribusinya semakin kecil, semakin melandai," jelasnya.
Advertisement