Sukses

Memanasnya AS dan China Tak Berdampak ke Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Ekonom Senior, Faisal Basri memastikan gelombang kedua perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China tidak akan mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi ekonomi Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Senior, Faisal Basri memastikan gelombang kedua perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China tidak akan mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi ekonomi di Tanah Air. Mengingat posisi ekspor Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sendiri mencapai 18 persen.

"Pertama pengaruhnya saat kecil karena persentasi ekspor kita terhadap PDB tinggal 18 persen. Kalau Singapura 273 persen ekspornya lebih besar. Jadi sangat kecil kalaupun ada kemungkinan positif. Jadi kecil pengaruhnya," kata dia dalam diskusi di Komisi VI DPR RI, Jakarta, Senin (31/8).

Di samping itu, gelombang kedua pandemi Covid-19 juga tidak berdampak besar kepada Tanah Air selama pemerintah bisa menyelesaikan penanganannya. Dia mendorong pemerintah tidak hanya menunggu vaksin saja, melainkan memikirkan bagaimana strategi penanganannya

"Dan vaksin ini belum tentu mujarab. Tapi ini dilakukan tidak hanya Indonesia. (Negara lain juga bergantung vaksin)," jelas dia.

Dia mencontohkan, negara seperti Singapura dan Malaysia sudah memulai membuka kembali aktivitas ekonominya. Mengingat jumlah kasus dikedua negara tersebut sangat rendah. Dikarenakan pemerintahannya melakukan testing setiap harinya.

"Jadi kita harus lebih banyak bergantung pada diri kita sendiri," kata dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Komentari Perang Dingin AS-China, Menko Luhut Sebut Soal Komunis

Amerika Serikat (AS) dengan China belum menunjukkan tanda-tanda perdamaian. Ketegangan geopolitik masih tinggi karena kedua negara masih melancarkan perang dingin. Setiap kebijakan AS selalu dibalas oleh China dan juga kebalikannya.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menilai, kondisi ini terjadi akibat Negara Paman Sam itu terlalu memberikan banyak keistimewaan kepada China.

"Kita lihat Amerika Serikat itu mungkin selama ini kebablasan memberikan previlage kepada China, dan begitu itu dahyastnya majunya," kata Luhut dalam Pidato Ilmiah Indonesia In The Exta Ordinary Time di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat, (14/8/2020).

Keistimewaan itu akhirnya menjadi bumerang bagi Amerika Serikat (AS). China melesat cepat dan malah menjadi pesaing Amerika. Pasar global yang dikuasai mencapai 16 persen. Sehingga jika terjadi sesuatu di China akan memengaruhi negara lainnya.

"Dulu kita menganggap (China) seperti Glodok aja gitu, sekarang tidak, 16 persen lebih perdagangan dunia dikuasai China," kata dia.

Terlihat dari teknologi yang dimiliki dan jaringan sinyal 5G dan banyak hal efisien yang dilakukan negara tirai bambu itu. "Anda bisa lihat dari 5G, teknologinya, apa saja efisiensinya, disiplinnya dan itu berubah jadi negara yang hebat," sambungnya.

3 dari 3 halaman

Indonesia Hanya Melihat Soal Komunis

Sayangnya hal ini tidak banyak diakui orang Indonesia. Masyarakat hanya berkutat pada sistem pemerintahan komunis yang dianut China. Padahal cara itu menurut hemat Luhut sudah tepat. Sebab China memiliki penduduk yang tidak sedikit.

"Kadang kita tidak mau mengakui itu, kita sibuk ngomongin slogan komunis. Komunis itu memang dia perlukan untuk negara dia, karena kalau tidak 1,4 miliar penduduk dia itu tidak akan bisa menjadi satu," papar Luhut.

Luhut menilai hal itu perlu dilakukan pemerintah di sana agar tidak ada kritik yang tidak perlu. Lalu pemerintah bisa fokus pada pembangunan. Dampaknya, tingkat kemiskinan dapat diselesaikan.

"Sehingga tingkat kemiskinan yang diselesaikan di China itu lebih besar, dibandingkan negara negara di dunia," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.comÂ