Liputan6.com, Jakarta - Pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia, diutamakan untuk konservasi. Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Aryo Hanggono mengungkapkan, persentase peruntukan ruang terbuka hijau atau konservasi bahkan mencapai 51 persen dari total luas pulau.
"Satu pulau itu paling sedikit 30 persen dikuasai langsung oleh negara dan paling banyak 70 persen dari luas pulau dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Dari 70 persen itupun pelaku usaha wajib mengalokasikan 30 persen untuk ruang terbuka hijau, artinya hanya 49 persen dari luas pulau yang boleh. 51 persen akan dikonservasi," terangnya dalam siaran pers, Selasa (1/9).
Baca Juga
Lanjutnya, untuk kepemilikan pribadi pulau di Indonesia ada beberapa ketentuan. Syarat pertama yang harus dipenuhi ialah harus Warga Negara Indonesia. Selain itu, pemilik pulau juga harus konsisten dengan persentase area konservasi di pulau yang dimiliki.
Advertisement
"Kalau orang Indonesia itu boleh asal dia secara hukum jelas sertifikat kepemilikannya," urainya.
Adapun sertifikat kepemilikan, dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, berada di wilayah pengelolaan perairan di sekitar pulau tersebut.
Hal ini sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diubah oleh Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014.
"Sertifikat kepemilikan atau hak atas tanah dari Kementerian ATR/BPN, daratan di ATR/BPN, kami hanya lautnya saja. Kira-kira peraturannya seperti itu," jelasnya.
Lebih jauh, Aryo memastikan timnya masih melakukan pendalaman terkait isu penjualan pulau di Buton, Sulawesi Tenggara. Kendati demikian, dia menegaskan bahwa kepemilikan pulau oleh asing dilarang di Indonesia.
"Yang perlu kita tau adalah pertama siapa yang menjualnya lalu pembelinya siapa, kalau orang Indonesia ada ketentuan, ke asing tidak boleh," tandasnya.
Sebelumnya, beredar viral terkait penjualan Pulau Pendek, Kabupaten Buton. Pulau ini dijual seharga Rp36.500 (per meter persegi) di sebuah portal jual-beli. Selain menyiarkan harga, di laman tersebut juga memuat profil pulau seluas 220 hektare.  Â
Reporter: SulaemanÂ
Sumber: Merdeka.com
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Investor yang Ingin Berusaha di Pulau Kecil Harus Seizin KKP
Kepala Sub-Bidang (Kasubdit) Pulau-Pulau Kecil dan Terluar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ahmad Aris menegaskan komitmen pemerintah, terutama KKP dalam memastikan keberlangsungan ekosistem kawasan pulau-pulau kecil. Salah satunya dari aktivitas pertambangan.
Sebab, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil akan berdampak masif pada keberlangsungan ekosistem pulau-pulau kecil tersebut.
Langkah tersebut, jelas dia, dilakukan dengan penerbitan Permen KKP No 8 tahun 2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Dengan Luas Di Bawah 100 Km2.
Menurut dia, ke depan, aktivitas bisnis di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 kilometer persegi berada di bawah wewenang KKP. Investor baru bisa menjalankan usaha bila sudah mendapatkan izin KKP.
"Bahwa kalau pulau-pulau kecil itu mau dimanfaatkan, pulau sangat kecil, tiny island tadi kalau asing harus mendapatkan izin dari Menteri (KKP)," ujar dia, saat ditemui, di Jakarta, Senin (11/11/2019).
 Â
Advertisement
Rekomendasi
Sedangkan bagi investor asal Indonesia, harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri KKP jika hendak berusaha di pulau-pulau tersebut. Aturan tersebut, lanjut dia, sudah mulai berlaku sejak September tahun ini.
"Jadi saya rasa ke depan, artinya keberlanjutan pulau-pulau kecil semakin terjaga karena keterlibatan KKP sudah semakin besar," ungkapnya.
Sedangkan untuk aktivitas usaha, seperti tambang, yang sudah berjalan, kata dia, memang tidak dapat dibatalkan dengan aturan tersebut. Namun, masyarakat dapat mengajukan peninjauan atau evaluasi melalui jalur lain, misalnya melalui Ombudsman.
"Begini, aturan kan tidak bisa berlaku mundur. Bisa dari sisi lain ke ombudsman dan sebagainya. Ada cara-cara lain," tandasnya.
Â
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com Â