Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus bersinergi bersama Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kementerian BUMN, dan Kantor Staf Presiden (KSP) untuk mensinkronisasikan program kerja pengembangan lumbung pangan atau food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, terdapat dua pengembangan food estate di Kalteng yakni untuk tanaman padi dengan leading sektor Kementerian Pertanian yang berada di lahan aluvial seluas 165 ribu ha pada lahan Eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Kemudian untuk tanaman singkong dengan leading sektor Kementerian Pertahanan seluas 60 ribu ha.
Baca Juga
Sebagai tahap awal akan mulai dikerjakan food estate untuk tanaman padi seluas seluas 32 ribu ha pada Oktober 2020. Itu terdiri dari 30 ribu ha di kawasan dengan kondisi sawah dan irigasi baik, serta 2.000 ha di Kecamatan Dadahup.
Advertisement
"Untuk tanaman padi dimulai dengan perbaikan saluran irigasi dan perbaikan jalan-jalan masuk (aksesibilitas) menuju kawasan food estate pada Oktober 2020. Sisanya 133 ribu ha akan dilanjutkan nanti 2021, sehingga akhir tahun 2021 kawasan estate padi seluas 165 ribu selesai dikerjakan fisik semua dan mulai tanam full pada 2021," jelasnya dalam keterangan tertulis, Rabu (2/9/2020).
Sementara untuk food estate tanaman singkong, Menteri Basuki menuturkan, pada 2020 dari total rencana area pengembangan 60 ribu ha, akan mulai dikerjakan seluas 30 ribu ha pada 2020-2021 di Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisang, dan Kabupaten Kapuas. Sisanya seluas 30 ribu ha sebagian besar berada di Kabupaten Murung Raya dan akan mulai dilaksanakan di 2021.
"Sekarang anggarannya sudah tersedia, Kementerian Pertahanan akan menggerakkan prajurit Zeni TNI AD dalam rangka land clearing, land grabbing, untuk siapkan lahan tanaman singkong. Ini lebih mudah dari padi yang lebih sensitif, kalau padi harus benar-benar flat untuk bisa irigasi dengan baik," tuturnya.
Menurut dia, ketersediaan air menjadi kunci utama program pengembangan pusat tanaman pangan di Kalteng. Kementerian PUPR mendukung tata air untuk pengembangan food estate melalui rehabilitasi dan peningkatan saluran dan jaringan irigasi, baik mulai irigasi primer, sekunder, tersier maupun kuarternya.
"Awal Oktober 2020 surat perintah kerja ditargetkan bisa terbit bagi para pemenang lelang. Sehingga kami bisa sesuaikan antara pekerjaan irigasi dan olah tanah dengan harapan pada Oktober-Maret sudah bisa mulai tanam," ujar Menteri Basuki.
Sementara Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, dalam pengembangan program food estate juga tengah disiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan dan Kementerian BUMN.
"Untuk persiapan SDM akan ada program komponen cadangan. Kami akan merekrut secara sukarela masyarakat, utamanya dari lokal dengan rentang usia 28-35 tahun. Kemudian ikut program komponen cadangan dengan dilatih bagaimana cara bertani dalam waktu kurang lebih 4 bulan," kata Budi Gunadi.
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Rencana Pengembangan Food Estate Butuh Restorasi Lahan
Pemerintah mencanangkan pembangunan food estate di Kalimantan Tengah, untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan melalui optimalisasi dan perluasan lahan pada wilayah yang sesuai.
Langkah pemerintah menuai dukungan Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) mengapresiasi terobosan model food estate.
“Food estate dapat menjadi model pertanian terintegrasi dari hulu dan hilir yang berkelanjutan,” kata Ketua Umum PERAGI, Andi Muhammad Syakir, seperti dikutip Senin, (31/8/2020).
Menurut Syakir, secara nasional potensi lahan untuk intensifikasi dan ekstensifikasi seluas 119,6 juta hektar yang terdiri dari lahan kering dan lahan rawa.
Secara umum, 76,64 persen dari lahan tersebut berupa tanah masam yang ber pH rendah sehingga tergolong lahan sub optimal (LSO).
Lahan masam itu berupa 107,3 juta ha lahan kering masam dan 33,4 juta ha berupa lahan rawa masam. Sisanya 5,7 juta ha berupa lahan basah/sawah. “Tantangan Indonesia adalah bagaimana berhadapan dengan tanah masam,” kata Syakir.
Tingkat kemasaman yang tinggi menyebabkan produksi tanaman kurang optimal. Penyebabnya pertumbuhan tanaman terganggu karena perakaran terhambat. Demikian pula unsur hara di tanah berada dalam bentuk tidak tersedia.
“Persoalannya sebagian besar tanaman pertanian dan pangan yang bernilai ekonomis tinggi kurang toleran pada kondisi tanah masam,” jelas Syakir.
Namun demikian, telah banyak kajian ilmiah di perguruan tinggi dan lembaga penelitian serta pengalaman empiris petani untuk menghadapi tanah masam. “Kuncinya adalah restorasi atau penyehatan tanah masam,” kata Syakir.
Lahan yang sudah direstorasi mampu meningkatkan produktivitas pangan seperti jagung dari 4 ton menjadi 12 ton per hektar (50 persen-400 persen).
Demikian pula produksi padi dari 1,8 ton menjadi 5-6 ton (200 persen-300 persen). Sementara untuk kedelai dari 0,5 menjadi 1,2-1,8 ton (200 persen-350 persen).
“Restorasi lahan juga terbukti efektif untuk meningkatkan produksi tanaman palawija, hortikultura, perkebunan dan kayu-kayuan,” kata Syakir.
Kegiatan restorasi bertumpu pada dua pendekatan yakni manajemen air dan manajemen pH tanah. Pada lahan kering masam manajemen air dilakukan dengan mengoptimalkan panen air hujan (rain water harvesting) serta upaya meretensi air selama mungkin dengan penambahan bahan organik.
Pada lahan basah masam atau sering disebut lahan sulfat masam, menajemen air dilakukan dengan mengoptimalkan pencucian kemasaman tanah melalui pengaturan irigasi dan drainase yang tepat.
Tanah sulfat masam umumnya memiliki pH 2,5-3,8. Sebaliknya padi misalnya optimal tumbuh pada pH 4,5-5,8. “Manajemen pH tanah ditujukan untuk meningkatkan dan stabilisasi pH pada kisaran optimum yakni sekitar 1-2 level,” kata Syakir.
Advertisement