Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus melakukan pengawasan yang super ketat terhadap 48 konglomerasi di sektor keuangan. Hingga 2019, total aset perusahaan konglomerasi keuangan mencapai Rp 7.187 triliun.
"Ada 48 industri keuangan yang sifatnya konglomerasi, terbagi menjadi dua yaitu konglomerasi keuangan dengan bisnis utama bank dan jasa keuangan non-bank," kata Staf Ahli OJK, Ryan Kiryanto dalam Live Streaming Keterangan Pers OJK bertajuk 'Stabilitas Sistem Keuangan dan Pengawasan Terintegrasi OJK' di akun YouTube Jasa Keuangan, Jakarta, Rabu (2/8/2020).
Baca Juga
Dalam catatan OJK, ada 34 konglomerasi dengan bank sebagai entitas utama. Di sektor asuransi terdapat 8 konglomerasi, sektor perusahaan efek ada 3 konglomerasi, perusahaan pembiayaan ada 2 konglomerasi dan 1 konglomerasi dari sektor LJK Khusus.
Advertisement
Ryan menjelaskan, semakin mengguritanya sektor keuangan dalam sebuah konglomerasi menimbulkan potensi keuangan yang berkomplikasi dari lembaga yang sama. Namun disisi lain konglomerasi keuangan ini bisa makin efektif dalam penggunaan sumber daya dan menghasilkan pendapatan yang maksimal.
"Ini akan efektif dan maksimal untuk bisa jadi lebih cepat dengan takaran yang tepat," kata dia.
Sebagai regulator, OJK harus hadir melakukan pengawasan dalam sektor konglomerasi keuangan yang terintegrasi ini. Lewat pengawasan yang terintegrasi dapat memperkuat pengawasan keuangan yang menawarkan produk keuangan hybrid antara perbankan, asuransi dan investasi.
"OJK sebagai regulator tidak boleh ketinggalan dan harus ada di dalam market, sehingga denyut nadinya tercapture," kata Ryan.
Lewat pengawasan terintegrasi ini akan mendeteksi lebih dini risiko stabilitas sektor jasa keuangan. Dalam hal ini OJK telah menerbitkan peraturan dan infrastruktur pengawasan integrasi.
Payung hukum pengaturan pengawasan ini tertuang dalam POJK nomor 17 tahun 2014 tentang Manajemen Risiko Terintegrasi, POJK Nomor 18 tahun 2014 tentang Tata Kelola Terintegrasi dan POJK Nomor 26 tahun 2015 tentang Permodalan Terintegrasi. Sementara itu, infrastruktur pengawasan dilakukan oleh Komite Pengawasan Terintegrasi dan Unit Perizinan dan Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi.
Dengan begitu, kata Ryan, OJK telah melakukan tindakan preventif dan menciptakan situasi kondusif, sehat dan meng-engage dalam proses industri keuangan. Harapannya dengan cara ini OJK bisa memberikan sumbangan terhadap perekonomian nasional. Sehingga semua bisa berjalan lebih optimal karena regulator hadir di pasar.
"Ini yang kami lakukan dan industri keuangan kita bisa nyata dan memberikan kontribusi nyata," kata dia mengakhiri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Â
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan video pilihan berikut ini:
Bank Dunia Minta OJK Perlu Awasi Konglomerasi Sektor Keuangan
Sebelumnya, Indonesia kini tengah berada dalam ancaman arus modal keluar (capital outflow) yang besar imbas dari perlambatan ekonomi global. Hal itu terungkap dalam materi presentasi Bank Dunia yang bertajuk Global Economics Risk and Implications for Indonesia.
Dalam materi itu, Bank Dunia juga menyoroti permasalahan di industri keuangan Indonesia. Disebutnya, ada sejumlah hal yang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu perbaiki di industri keuangan RI.
Â
Masalah pertama, konglomerasi yang terjadi di sektor keuangan. Kedua, persoalan kredibilitas yang terjadi di sektor asuransi dalam negeri.
Bank Dunia mengungkapkan, konglomerasi di sektor keuangan mengambil pasar industri perbankan sampai 88 persen.
OJK dinilai perlu memperbaiki tata kelola dan pengawasan terhadap proses penilaian risiko lintas sektor. Sebab, gap antara regulasi dan pengawasan terhadap konglomerasi keuangan sangatlah besar.
Bank Dunia juga menyarankan OJK untuk merevisi aturan, dan membentuk satu tim yang khusus mengawasi risiko dari konglomerasi keuangan ini.
Persoalan kedua ialah masih lemahnya industri asuransi Indonesia. Sebagai contoh, Bank Dunia menekankan dua asuransi jiwa nasional terbesar, yakni Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Asuransi Jiwasraya, yang belum mampu memenuhi kewajibannya.
"Tidak main-main, mengingat kedua asuransi tersebut memiliki sekitar 7 juta orang nasabah dengan lebih dari 18 juta polis, di mana mayoritasnya merupakan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah," tulis Bank Dunia, Jumat (6/9/2019).
Bank Dunia menyarankan, OJK perlu melakukan penilaian mendetil terhadap gap aktuaria. Dan berdasarkan penilaian tersebut bisa mengambil kebijakan recovery atau resolusi.
Advertisement