Liputan6.com, Jakarta - Langkah pemerintah mengelola termasuk salah satunya menerbitkan utang dipandang sangat ugal-ugalan. Utang tersebut terlalu tak terkontrol meskipun kegunaannya untuk penanganan pandemi Corona.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Rachbini mengatakan, pemerintah harus lebih bijak dalam mengambil kebijakan soal utang. Sebab, utang dinilai dapat membebani calon presiden mendatang.
Baca Juga
"Mohon maaf dalam bahasa saya pemerintah ini bersifat ugal-ugalan soal kebijakan utang. Saat ini utang Indonesia sudah menggunung. Utang tersebut akan menjadi palu godam yang mematikan bagi calon presiden mendatang," ucap dia dalam webinar bertajuk Politik APBN dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Rabu (2/9/2020).
Advertisement
Didik mencatat, nilai utang pemerintah pada 2019 mencapai Rp 921,5 triliun. Kemudian pada tahun ini pemerintah juga berencana kembali menerbitkan utang sebesar Rp 1.439 triliun, menyusul pelebaran defisit APBN hingga 6,34 persen dari produk domestik bruto (PDB).
"Padahal pada RAPBN 2020 yang dibuat tahun 2019, penerbitan utang direncanakan pemerintah turun menjadi Rp 651 triliun. Namun Sri Mulyani (Menteri Keuangan) mengatakan pemerintah akan melakukan utang sebesar Rp 1.439 atas defisit APBN sebesar 6,34 persen dari PDB," jelasnya.
Sehingga, dia menganalogikan nilai utang tahun ini setara dengan 20 kali lipat dari anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2020 yang dialokasikan sebesar Rp 71 triliun. "Ini nilai utangnya setara 20 kali lipat, dari kementerian (Kemendikbud) Nadiem Makarim," tegasnya
Lebih jauh, Didik menyebut, saat ini pemerintah sudah masuk pada perangkap utang. Mengingat nilai untuk utang publik, yakni gabungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BUMN telah mencapai Rp 7.248 triliun.
Di luar utang tersebut, Bank BUMN juga dinilai menjadi beban pemerintah. Hal itu karena bila Bank BUMN mengalami gagal bayar, maka negara mempunyai kewajiban untuk membayarnya.
"Sebab dalam kategori sistem moneter internasional, itu dianggap sebagai utang. Bila ditambah dengan utang Bank BUMN, menjadi lebih dari Rp 10.000 triliun," ujarnya
Maka dari itu, dia memproyeksikan beban utang pemerintah juga semakin tinggi. Pada 2019, beban bunga utangnya mencapai Rp 275,54 triliun.
"Dalam beberapa tahun ke depan, negara kita juga harus membayar utang setiap tahun lebih dari Rp 1.000 triliun. APBN sudah masuk perangkap, harus berutang untuk membayar utang," ucapnya
"Indikasinya ialah keseimbangan primer merupakan indikator keseimbangan utang. Sementara Defisit keseimbangan primer menunjukkan bahwa pembayaran utang dilakukan dengan melakukan utang baru," tutupnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan video pilihan berikut ini:
Realisasi Pencairan Utang Pemerintah Capai Rp 421,5 Triliun di Semester I 2020
Sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mencatat, realisasi pembiayaan utang sudah mencapai 34,5 persen dari target senilai Rp 421,5 triliun.
Luky memaparkan, pembiayaan utang semester I 2020 terutama bersumber dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar domestik melalui lelang dan non-lelang. Diantaranya, penerbitan SBN valas semester I yang mencapai Rp 145,7 triliun.
“Pembiayaan utang, realisasi semester I sudah mencapai Rp 421,5 triliun, di mana SBN nettonya sudah mencapai Rp 430,4 triliun. Jadi SBN valas kita ada berapa? semester I sudah USD 9,9 miliar, atau Rp 145 triliun. Ada 3 penerbitan global bond, di Januari, April, dan global sukuk di bulan Juni. Kita terbitkan SBN ritel 2 kali dan cash wakaf link sukuk,” terang Luky.
Adapun nilai dari ketiga global bond tersebut penerbitan SBN ritel sebesar Rp 14,4 triliun. Ini termasuk penerbitan sukuk wakaf. Pengertian pinjaman program USD 1,8 miliar, dan penarikan pinjaman proyek Rp 5,3 triliun.
“Ini salah satu contoh yang kita lakukan dalam pengelolaan risiko. Misalnya ada outstanding utang, kita ke ADB karena saat ini Euro dan Yen sedang murah. Kemudian kita konversikan, kita negosiasikan dengan lembaga mitra kita, ADB (Asian Development Bank), akhirnya kita bisa mengconvert sampai USD 8,3 miliar,” kata Luky.
Memang kita bayar dalam bentuk Euro, tapi suku bunganya itu sudah hampir 0 persen. Jadi sangat kecil. Nah itu salah satu contoh bagaimana kita mengelola portofolio risiko kita,” imbuh dia.
Advertisement