Liputan6.com, Jakarta - Halim Alamsyah akan mengakhiri masa jabatannya sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 24 September 2020 mendatang.
Meski dapat meneruskan kursi kepemimpinannya selama dua periode, namun Halim tak bisa dipilih lagi lantaran ia telah melewati usia maksimum calon, yakni 63 tahun.
Menurut beberapa kabar yang beredar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyetujui sejumlah nama sebagai dewan komisioner LPS yang baru. Termasuk pengangkatan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Ketua Dewan Komisioner pengganti Halim.
Advertisement
Saat diminta konfirmasi hal tersebut, Purbaya mengatakan dirinya belum mendapatkan informasi secara formal mengenai penunjukan sebagai Ketua Dewan Komisioner LPS. Meski demikian, ia tetap buka kemungkinan bakal digeser ke posisi tersebut.
"Saya belum tahu (soal kepastian jadi Ketua Dewan Komisioner LPS), tapi sepertinya begitu," ujar Purbaya kepada Liputan6.com, Jumat (4/9/2020).
Adapun pengangkatan dewan komisioner LPS sendiri saat ini masih menunggu Keputusan Presiden (Keppres) yang baru akan diterbitkan pada 20 September 2020 mendatang.
Sebagai informasi, Purbaya Yudhi Sadewa saat ini masih menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Purbaya mau tak mau nantinya harus melepas posisi tersebut jika jadi ditarik menggantikan Halim, yang telah menjabat sebagai Ketua LPS sejak 24 September 2015 silam.
Sebelum terjun ke LPS, Halim memulai karirnya sebagai staf analisis kredit di Bank Indonesia pada 1982. Karirnya mulai melesat setelah Halim berkonsentrasi pada bidang regulasi, pengawasan dan penelitian perbankan dan keuangan.
Hingga pada 1 Juni 2010, Halim diangkat menjadi Deputi Gubernur BI untuk masa jabatan 5 tahun dari 17 Juni 2010 sampai dengan 17 Juni 2015. Setelahnya, ia ditarik ke LPS untuk kemudian bakal mengakhiri karirnya pada 20 September mendatang.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Penguatan LPS Dinilai Lebih Penting dari Revisi Undang-Undang BI
Ekonom sekaligus Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani menilai revisi aturan terkait Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dinilai lebih urgent untuk dilakukan saat ini. Dibandingkan revisi UU Bank Indonesia (BI) melalui Perppu yang tengah dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.
"Menurut saya yang perlu difokuskan saat ini adalah sektor riil. Karena sektor keuangan sudah menjalankan fungsinya dengan baik. Kalaupun ada peraturan yang perlu diperbaiki, salah satunya LPS," ujar dia dalam webinar yang digagas oleh Bisniscom, Selasa (1/9/20).
Alviliani mengatakan dalam aturan LPS saat ini disebutkan, bahwa lembaga tersebut baru dapat terlibat melakukan penanganan apabila bank sudah dinyatakan gagal. Imbasnya negara membutuhkan dana tinggi untuk biaya penanganannya.
Sehingga, di berpendapat aturan LPS ini sebaiknya direvisi dengan mencantumkan ketentuan bahwa ketika ada indikasi bank bermasalah, lembaga pengawas ini dapat segera bertindak. Mekanismenya aset yang dinilai masih bagus bisa diserahkan kepada investor sedangkan aset yang buruk diurus oleh LPS.
"Seharusnya keterlibatan LPS bukan hanya pada bank gagal. Kita bisa lihat kemarin ketika ada bank bermasalah, akhirnya LPS di dalam aturannya tidak bisa membantu. Akhirnya OJK yang sibuk mencari bagaimana cara menyelesaikannya," jelas dia.
Kendati demikian, Alviliani meminta revisi aturan LPS tidak dalam bentuk Perppu. Mengingat jumlah Perppu di Indonesia sudah terlampau banyak yang justru dapat direspon negatif oleh pelaku pasar.
"Terlalu banyak Perppu akan memberikan sinyal terkait ketidakstabilan di dalam suatu negara. Seperti yang dialami oleh negara lain seperti Turki yang membuat kekhawatiran di pasar," paparnya.
"Jadi Perrpu tidak menjafi solusi saat ini. Apalagi sektor keuangan kita oke-oke saja," imbuh dia.
Advertisement