Liputan6.com, Jakarta - Calon nasabah asuransi jiwa harus sangat selektif dalam memilih perusahaan asuransi. Salah satunya dengan memperhatikan ukuran kesehatan keuangan perusahaan tersebut.
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon mengatakan, setidaknya ada lima tips yang bisa dipraktikan oleh calon nasabah untuk mengetahui kondisi keuangan dari suatu perusahaan asuransi. Sehingga calon nasabah terhindar dari berbagai persoalan yang timbul dikemudian hari.
"Sebelum mengikuti program asuransi jiwa. Calon nasabah penting untuk memperhatikan tingkat kesehatan keuangan dari suatu perusahaan asuransi agar terhindar dari berbagai persoalan," ujar Budi dalam webinar bertajuk 'Mendorong Penetrasi Berkesinambungan Melalui Peningkatan GCG', Kamis (10/9/2020).
Advertisement
Caranya, memastikan manajemen perusahaan asuransi telah menerapkan aturan POJK Nomor 67/POJK.05.2016. Dimana modal minimum asuransi jiwa konvensional sebesar Rp150 miliar pada saat didirikannya dan modal Rp100 miliar pada setiap saatnya.
Kemudian, memilih perusahaan asuransi yang telah mengimplementasikan aturan POJK Nomor 71/POJK.05/2016. Terkait target tingkat solvabilitas internal (RBC rasio) paling rendah sebesar 120 persen dari MMBR.
Selain itu, calon nasabah program asuransi jiwa juga harus memperhatikan Terpenuhi nya unsur-unsur rasio lainnya. Misalnya rasio kecukupan investasi, rasio likuiditas, rasio pertimbangan hasil investasi dan rasio beban (klaim, usaha, serta komisi).
"Maka, bila terpenuhi keselurahan unsur tersebut. Kita dapat menyimpulkan bahwa kondisi keuangan perusahaan asuransi itu dalam kondisi baik," paparnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
OJK: Banyak Asuransi Gagal Bayar karena Tata Kelola Buruk
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan alasan utama maraknya perusahaan asuransi mengalami gagal bayar. Buruknya penerapan tata kelola perusahaan atau good corporate governance (GCG) yang menjadi biang keroknya.
"Di Industri Asuransi kita, masih belum baik penerapan GCG nya. Sehingga perusahaan asuransi kerap mengalami persoalan gagal bayar," ujar Deputi Komisioner Pengawasan IKNB II OJK M Ihsanuddin dalam webinar bertajuk 'Mendorong Penetrasi Berkesinambungan Melalui Peningkatan GCG', Kamis (10/9/2020).
ÂIhsan mengatakan untuk perusahaan asuransi besar dengan nilai investasi yang juga besar harus memiliki aturan atau SOP yang harus ditaati oleh para fund manager. Seperti menentukan jenis instrumen atau proporsi investasi di instrumen yang dianggap berisiko.
Sehingga manajemen akan tergerak untuk melakukan proses pemantauan secara ketat terhadap penempatan dana investasi. Imbasnya peluang adanya kesalahan pembelian nilai aset yang anjlok hingga nilai sangat rendah bisa di antisipasi. Ujungnya penerimaan premi bisa terus dijaga secara normal oleh perusahaan.
"Di Indonesia sendiri regulasi terkait kewajiban menerapkan GCG oleh perusahaan asuransi telah tertuang dalam Pojk 43/POJK 05 2019 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian. Aturan ini bertujuan agar perusahaan asuransi mampu melakukan tata kelola dengan baik untuk terhindar dari kasus gagal bayar," sambungnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon yang mengungkapkan bahwa GCG menjadi kunci bagi perusahaan asuransi untuk menghindari berbagai risiko permasalahan termasuk gagal bayar.
"Misalnya ada perusahaan asuransi yang bermasalah dari sisi investasi sehingga mengakibatkan gagal bayar. Ternyata stategi revenue nya atau kegiatan investasi nya tidak memadai. Sekali lagi kuncinya ada di GCG," tandasnya.
Advertisement