Sukses

RUU Cipta Kerja Dinilai Jadi Senjata Ampuh Kurangi Pengangguran

RUU CIpta Kerja diyakini mempunyai kemampuan hebat untuk menciptakan lapangan kerja dalam skala besar.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Turro S Wongkeran mengatakan RUU Cipta Kerja dapat menyelesaikan permasalahan terkait lonjakan pengangguran. Sebab RUU kontroversial ini diyakini mempunyai kemampuan hebat untuk menciptakan lapangan kerja dalam skala besar sebagai solusi menekan angka pengangguran.

Dia mencatat pada Februari 2020, total jumlah angkatan pekerja di Indonesia mencapai 138 juta jiwa. Sementara jumlah pekerja yang berhasil terserap mencapai 132 juta jiwa. Alhasil jumlah pengangguran mencapai 6 juta jiwa.

Kemudian, diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang memukul hebat dunia usaha dalam negeri. Sehingga Kementerian Ketenagakerjaan memproyeksikan angka pengangguran baru mencapai 3,6 juta jiwa.

"RUU Cipta Kerja bertujuan mengatasi permasalahan kependudukan kita. Yang kemudian semakin diperparah oleh pandemi Covid-19. Sehingga ini akan menjadi solusi baik, karena berfokus pada penciptaan lapangan kerja untuk menyerap jumlah pekerja yang tinggi," ujar dia dalam webinar bertajuk 'Kebijakan RUU Cipta Kerja Dalam Perspektif Teori Ekonomi', Jumat (11/9/2020).

Tak hanya itu, Turro juga menyebut RUU Cipta Kerja dapat menjadi solusi mengantisipasi bonus demografi yang di alami Indonesia pada tahun 2020 sampai 2030 nanti. Mengingat bonus demografi ini bisa menjadi peluang atau ancaman.

"67 persen penduduk kita berada di usia produktif. Sehingga melalui RUU Cipta Kerja penduduk usia produktif ini harus terserap lapangan pekerjaan. Kalau tidak ini ini akna menjadi bencana demografi," tegasnya.

Oleh karena itu, dia meminta Pemerintah untuk merangkul seluruh pihak terkait agar mau duduk bersama dan lebih detail dalam mensosialisasikan RUU Cipta Kerja. Imbasnya polemik penolakan akan pengesahan RUU anyar ini diharapkan dapat diminimalisir

"Karena kondisi Kependudukan seyogyanya, memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi. Terlebih periode tersebut jumlah dan proporsi penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan periode lainnya," tukasnya.

2 dari 2 halaman

RUU Cipta Kerja Ancam Keberadaan Pesantren, Benarkah?

Pengacara syariah dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Andi Syafrani mengklaim, bila Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja tidak ancam keberadaan pesantren terlebih pidanakan kiai.

Hal itu Andi sampaikan untuk merespons kekhawatiran sejumlah pihak atas informasi yang diedarkan secara masif di media sosial terkait RUU Cipta Kerja dan dampaknya terhadap pesantren.

Kekhawatiran itu juga disampaikan oleh Ketua Presidium Forum Silaturrahim Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten KH. Sulaiman Effendi dalam Forum Mudzakarah Kiai Menimbang Kemaslahatan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dalam Perspektif Pesantren, yang digelar FSPP Banten, di Serang beberapa waktu lalu.

Dalam forum tersebut Andi menyampaikan, terdapat enam undang-undang terkait Pendidikan dan kebudayaan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja. Terkait masalah pendidikan, yang diatur dalam RUU Cipta Kerja hanyalah perizinannya, yaitu pada paragraf 12. Adapun UU nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren tidak termasuk salah satu yang diatur dalam RUU Cipta Kerja.

“Dalam bahasa ushul fiqih, RUU Cipta Kerja sudah muqoyyad (terbatas) mengatur enam UU terkait kebudayaan dan pendidikan. Adapun UU tentang Pesantren tidak termasuk yang diatur RUU Cipta Kerja,” tegas Ketua Ikatan Alumni Pesantren Mambaul Hikam Jombang ini.

Andi melanjutkan, terkait pendidikan, Undang-undang utama yang dimuat dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Menurut Andi, Pasal 62 UU Sisdiknas 2003 mengatur soal kewenangan perizinan lembaga Pendidikan, sedangkan Pasal 71 Sisdiknas mengancam pidana bagi lembaga pendidikan yang tidak memiliki izin berusaha pendirian lembaga pendidikan formal ataupun nonformal.

Menurut Andi, RUU Cipta Kerja mengubah pasal 62 dan 71 Sisdiknas hanya terkait kewenangan perizinan pendirian lembaga pendidikan saja, dari kewenangan pemerintah daerah atau pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah pusat saja. Jadi, pasal 71 yang mengatur soal pidana bagi lembaga pendidikan yang tidak memiliki izin bukan pasal baru dalam RUU Cipta Kerja.

“Pasal 71 ini bukan pasal baru dalam RUU Cipta Kerja, tetaapi sudah ada sejak tahun 2003. Sepanjang menjadi praktisi hukum, saya belum pernah dengar ada sekolah (pendiri) yang terkena pidana karena pasal 71 UU Sidiknas ini. Yang kena pidana bisanya yang memalsukan akreditasi, juga pemalsuan ijasah,” ungkap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syraif Hidayatullah Jakarta ini.

Pasal 62 dan 71 UU Sisdiknas 2003 yang dimuat dalam RUU Cipta Kerja inilah yang dalam beberapa minggu terakhir memicu anggapan bahwa lembaga informal yang dimaksud dalam UU Sisidknas 2003 tersebut termasuk lembaga pesantren.

Andi meluruskan, lembaga pesantren berbeda dengan lembaga pendidikan formal ataupun informal yang diatur dalam UU Sisdiknas 2003. “Alhamdulillah, dengan adanya UU tentang Pesantren, eksistensi pesantren itu menjadi spesial,” kata Andi.