Sukses

Pembiayaan Investasi di 2021 Turun jadi Rp 169 Triliun, Ini Rinciannya

Pemerintah Jokowi-Ma'ruf mengalokasikan pembiayaan investasi di 2021 mencapai sebesar Rp169,05 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Jokowi-Ma'ruf mengalokasikan pembiayaan investasi di 2021 mencapai sebesar Rp169,05 triliun. Angka itu lebih rendah dari anggaran tahun ini yang mencapai sebesar Rp257,1 triliun.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, arah kebijakan investasi di 2021 memang alami perubahan. Di mana ada beberapa pos yang juga mengalami penurunan anggaran.

Misalnya saja penyertaan modal negara (PMN) di BUMN di 2021 dialokasikan hanya sebesar Rp37,38 triliun. Alokasi itu menurun jika dibandingkan tahun ini yang sebesar Rp51,13 triliun.

Kemudian penurunan lainnya juga terjadi di pos investasi lainnya. Pada 2021 investasi lainnya hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp55 triliun. Lebih rendah dari posisi tahun ini sebesar Rp150,2 triliun.

Sementara untuk lembaga atau badan dan pinjaman daerah tidak mengalami perubahan anggaran di 2021. Kedua pos itu masing-masing masih mendapatkan sebesar Rp5 triliun dan Rp10 triliun.

Sedangkan kenaikan terjadi di Badan Layanan Umum (BLU) sebesar Rp60,74 triliun dari sebelumnya hanya Rp42,01 triliun di tahun ini. Kemudian untuk organisasi-organisasi lembaga keuangan internasional juga mengalami kenaikan sedikit dari Rp700 miliar di tahun ini ke Rp930 miliar di 2021.

"Untuk kebijakan pembiayan investasi 2021 ini kami bedakan berdsarkan tujuan kami untuk peningkatan kualitas SDM," kata dia dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Selasa (15/9).

Bendahara Negara ini memastikan pihaknya akan meningkatkan kualitas dari pembiayaan investasi di 2021. Pihaknya juga sudah diminta melakukan evaluasi dan analisa lebih detail mengenai dampak output dan outcome daripada pembiayaan tersebut.

"Kita lakukan pembiayaan agar tetap akuntabel dan ada pos below the line tersebut," tandas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Upah Buruh Terus Naik Tiap Tahun, Ini Dampak Buruknya Bagi Investasi

Upah buruh di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahun. Bahkan pemerintah membuat aturan khusus mengenai kenaikan upah buruh dari dengan landasan pertumbuhan ekonomi. 

Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) Turro S Wongkeran menilai, kenaikan upah minimum buruh di setiap tahun akan berdampak buruk bagi iklim investasi dalam negeri. Setidaknya dia mencatat ada empat dampak buruk yang berpotensi membuat investor lari dari Indonesia.

BACA JUGA

FOTO: Pesta Rakyat Simpedes BRI 2020 "Upah minimum tenaga kerja yang terus meningkat tidak baik bagi iklim investasi Indonesia. Ada empat hal nantinya yang akan dilakukan pengusaha atau investor," kata dia dalam webinar bertajuk 'Kebijakan RUU Cipta Kerja Dalam Perspektif Teori Ekonomi', Jumat (11/10/2020).

Pertama, memicu gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK. Menurutnya PHK menjadi pilihan utama yang kerap dilakukan oleh investor apabila merasa kesulitan untuk memenuhi kewajiban upah buruh.

Kedua, relokasi tempat usaha ke provinsi lain hingga luar negeri. Umumnya pelaku usaha akan memindahkan tempat bisnisnya apabila upah minimum di suatu provinsi terlampau tinggi. Bahkan, peluang untuk pindah usaha hingga keluar negeri menjadi paling besar.

"Nomor kedua biasanya pindah lokasi. Bisa dari provinsi lain yang lebih murah. Tapi bisa juga ke negara lain umumnya. Mereka memilih negara dengan upah minimum harga yang lebih murah," jelasnya.

Ketiga, mendorong digitalisasi. Melalui pemanfaatan teknologi canggih dalam kegiatan produksi otomatis membuat jumlah tenaga kerja menjadi berkurang. "Karena biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan akan jadi sedikit," imbuhnya.

Terakhir, tidak membuka lapangan pekerjaan baru. Adanya kenaikan upah buruh yang tinggi dianggap sebagai suatu beban tersendiri oleh perusahaan. Alhasil pelaku usaha lebih memilih untuk tidak lagi membuka lapangan kerja baru.

"Sebab memindahkan ke divisi lain atau sektor usaha lain akan tidak mungkin dilakukan. Karena sudah ada penggunaan teknologi dalam sistem produksi," tutupnya.

3 dari 3 halaman

Terlalu Mahal

Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahllil Lahadalia, menyebutkan upah buruh di Indonesia terlampau mahal. Hal itu mengakibatkan investor lebih memilih negara Asia Tenggara lainnya sebagai tempat berusaha.

Data BKPM mencatat upah buruh di Indonesia rata-rata mencapai Rp 3,93 juta per bulan. Sementara, rata-rata upah buruh di Malaysia sebesar Rp 3,89 juta. Sedangkan Vietnam, hanya membanderol upah buruhnya Rp 2,64 juta.

"Upah kita paling tinggi. Jadi, ini kondisi tidak terlalu baik bagi kita dalam melakukan persaingan untuk mengembangkan investasi," ujarnya dalam webinar di Jakarta pada Rabu 12 Agustus 2020.