Sukses

Rapat dengan BPH Migas, DPR Ingin Segera Ada Cadangan BBM Nasional

Kepada BPH Migas, Anggota DPR menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki cadangan energi nasional, ini menjadi masalah serius yang perlu dituntaskan.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) diundang untuk rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Selasa kemarin. Beberapa agenda dalam RDP tersebut adalah progres digitalisasi SPBU, progres BBM Satu Harga, dan mengenai cadangan BBM nasional.

Kepala BPH Migas M Fanshurullah Asa menjelaskan, digitalisasi SPBU merupakan program yang dibangun oleh PT Pertamina (Persero) bekerja sama dengan PT Telkom Indonesia berdasarkan Penugasan Pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan akuntabilitas data penyaluran BBM kepada konsumen di seluruh SPBU.

Data penyaluran ini terutama terkait BBM Tertentu (JBT) atau Solar subsidi dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) atau Premium penugasan.

Hingga tanggal 12 September 2020, sebanyak 5.058 SPBU telah terpasang ATG (progress 91,7 persen), 5.024 SPBU (progress 91 oersen) dan sebanyak 2.383 SPBU telah terintegrasi pada dashboard.

"Sebaran progress digitalisasi dengan tingkat kepatuhan input nomor polisi kendaraan seluruh SPBU rata-rata 39 persen.” Jelas Fanshurullah Asa dalam keterangan tertulis, Rabu (16/9/2020).

Sejak dimulainya program digitalisasi SPBU pada tanggal 31 Agustus 2018, program ini telah mengalami 4 kali revisi target penyelesaian yaitu dari target awal tanggal 31 Desember 2018 sampai dengan target revisi ke-4 yaitu pada Bulan Agustus 2020.

Fanshurullah Asa pun mengampaikan bahwa: 

1. BPH Migas tidak terlibat dalam penentuan spesifikasi maupun anggaran program digitalisasi SPBU;

2. Manfaat IT Nozzle dalam rangka pengawasan BBM menggunakan teknologi yang handal sehingga tepat sasaran dan tepat volume terutama pada BBM Subsidi (JBT: Solar) dan BBM Penugasan (JBKP: Premium).

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

BBM Satu Harga

Kemudian terkait program BBM Satu Harga dijelaskan oleh Fanshurullah Asa bahwa dalam rangka mewujudkan keadilan energi melalui Program BBM Satu Harga, sejak tahun 2017 sampai dengan 11 September 2020 telah beroperasi sebanyak 175 penyalur (165 Pertamina dan 10 AKR). Hingga Tahun 2024 diharapkan terbangun sebanyak 500 penyalur BBM 1 harga.

Untuk Tahun 2020, ditargetkan terbangun 83 penyalur BBM 1 Harga, dan hingga saat ini telah beroperasi 5 penyalur. Selebihnya, 15 penyalur dalam tahap perizinan Pemda, 61 penyalur tahap pembangunan dan 2 penyalur tahap evaluasi PT Pertamina (Persero).

Dari 175 penyalur yang telah beroperasi, volume total yang disalurkan sejak Tahun 2017 sampai dengan awal September 2020 adalah sebesar 134.830 KL untuk Solar dan 283.363 KL untuk Premium.

“Dapat kami sampaikan juga bahwa rasio penyebaran penyalur BBM di Indonesia khususnya di luar Pulau Jawa adalah 502,90 km untuk 1 penyalur," kata dia. 

"Dalam rangka menjamin ketersediaan BBM dan mengurangi kesenjangan jarak penyalur, perlu adanya pembangunan Sub Penyalur dan mini SPBU, seperti Pertashop oleh Pertamina dan Mikrosite oleh Exxon” tambah Fanshurullah Asa.

“Izinkan kami melaporkan juga terkait pengawasan terhadap penyelewengan BBM. Sejak tahun 2016-2020, BPH Migas telah membantu Kepolisian dalam memberikan Keterangan Ahli sebanyak 1.513 dengan penyelamatan BBM sebesar 11.784.074 liter” pungkas Fanshurullah Asa.

 

3 dari 4 halaman

Tanggapan DPR

Setelah pemaparan dan penjelasan dari Kepala BPH Migas, Pimpinan rapat memberikan kesempatan kepada Anggota Komisi VII DPR RI untuk memberikan tanggapan, pernyataan, dan pertanyaan. Salah satunya disampaikan oleh Anggota Komisi VII DPR RI H Rudy Mas'ud yang menyoroti tugas BPH Migas yang belum dapat dilaksanakan yaitu mengatur dan menetapkan cadangan BBM Nasional.

“Cadangan nasional kita hanya 20 hari, mestinya idealnya di atas 60 hari. Pada saat harga minyak turun kemarin, harusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kapasitas cadangan BBM nasional, ini seharusnya yang kita pikirkan. perbaikan tangki dan storage menjadi prioritas dari Indonesia Barat hingga Indonesia Timur. Ini mestinya BPH Migas bersuara kencang” tegas H Rudy Mas'ud.

Senada dengan H Rudy Mas'ud, Anggota Komisi VII DPR RI Willy Yosep mengatakan, dengan realitas Indonesia yang tidak memiliki cadangan energi nasional, ini menjadi masalah serius yang perlu dituntaskan. "Cadangan nasional sangat menakutkan kalau tidak sampai 60 hari atau 20 hari tidak sampai. Salah satu tugas Komisi VII yang artinya jangan sampai jadi bom waktu yang langsung kena kita," ungkapnya.

Terkait dengan pembangunan infrastruktur gas bumi, Anggota Komisi VII DPR RI Saadiah Uluputty menanyakan keseriusan BPH Migas dalam mendorong program pembangaun 190 Wilayah Jaringan Distribusi yang telah diusulkan oleh 25 Badan Usaha. “Apakah program ini belum terlaksana dengan baik karena belum ditetapkannya revisi RIJDGBN oleh Menteri ESDM, bagaimana upaya BPH Migas selain berkirim surat” tegas Saadiah Uluputty.

 

4 dari 4 halaman

Tanggapan BPH Migas

Menanggapi hal tersebut Kepala BPH Migas M. Fanshurullah Asa mengungkapkan bahw aBPH Migas sudah kehabisan suara baik lewat media maupun Anggota Komisi VII sebelumnya untuk menyakinkan tentang pentingnya cadangan BBM Nasional. Dimana sejak BPH Migas dibentuk, 17 tahun lalu, Indonesia belum dapat mewujudkan memiliki cadangan energi nasional seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain. yang ada saat ini adalah cadangan operasional yang dimiliki oleh Badan Usaha yang diklaim sebagai cadangan nasional.

Padahal cadangan BBM nasional merupakan amanat UU 22 tahun 2001 pasal 46 ayat 3. "Kendalanya dimana, cadangan BBM nasional belum bisa kami wujudkan, ada aturan mesti ada ketetapan Menteri ESDM, mau 30 hari atau standar Eropa 3 bulan atau 90 hari," katanya.

Fanshurullah Asa mengatakan, pada masa Menteri ESDM Ignasius Jonan, draf aturan tersebut sudah pernah dibahas yang untuk membackup cadangan BBM nasional, mewajibkan 150 badan usaha niaga umum migas dengan cadangan minimal selama 30 hari. Namun, dia mengungkapkan hingga saat ini peraturan tersebut tak kunjung terbit karena adanya sejumlah pertimbangan dari Menteri ESDM sebelumnya.

"Menteri masih menahan, menteri sebelumnya, dengan agumen ini akan jadi beban badan usaha, akan dibebankan harga jual BBM. tapi kalau melihat kepentingan ketahanan BBM, ketahanan energi negara kita bisa kena bencana, ini menjadi keharusan apalagi ini amanah UU Migas," jelasnya.

Lebih lanjut, untuk memiliki cadangan energi nasional, Ifan mengatakan harus ada konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah nantinya. Untuk cadangan energi selama 1 hari, berdasarkan simulasi BPH Migas dibutuhkan anggaran sekitar Rp 1 triliun. Dengan demikian, Ifan berpendapat perlu opsi semacam investasi dari badan usaha niaga. Selanjutnya terkait usulan pembangunan tangki dan depo di daerah 3 T atau Indonesia timur, Ifan sependapat pembangunan tersebut.

Menurutnya hal ini dapat mengurangi operasional badan usaha, mengurangi biaya angkut, sehingga harga jual lebih kompetitif. "Bahkan kami punya opsi dengan dana iuran BPH Migas Rp 1,3 triliun, dana BPH Migas bisa dibuat depot-depot di wilayah 3 T yang mewajibkan badan usaha mengisi di sana. uang ini balik lagi ke Negara. PNBP ini mempunyai multiplayer effect pada pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan PNBP juga" ungkapnya.